Rabu, 17 Juli 2013

Sekilas Tentang Otak Manusia (Bagian 3)



OTAK DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN PADA FASE DEWASA AWAL DAN DEWASA AKHIR


  • PENGARUH PERKEMBANGAN OTAK BAYI TERHADAP MASALAH PERKEMBANGAN PADA FASE DEWASA AWAL
Dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja. Masa remaja yang ditandai dengan pencarian identitas diri, pada masa dewasa awal, identitas diri ini didapat sedikit-demi sedikit sesuai dengan umur kronologis dan mental age-nya. Berbagai masalah juga muncul dengan bertambahnya umur pada masa dewasa awal. Dewasa awal adalah masa peralihan dari ketergantungan kemasa mandiri, baik dari segi ekonomi, kebebasan menentukan diri sendiri, dan pandangan tentang masa depan sudah lebih realistis.
Erickson (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) mengatakan bahwa seseorang yang digolongkan dalam usia dewasa awal berada dalam tahap hubungan hangat, dekat dan komunikatif dengan atau tidak melibatkan kontak seksual. Bila gagal dalam bentuk keintiman maka ia akan mengalami apa yang disebut isolasi (merasa tersisihkan dari orang lain, kesepian, menyalahkan diri karena berbeda dengan orang lain).
Hurlock (1990) mengatakan bahwa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun samapi kira-kira umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.
Secara umum, mereka yang tergolong dewasa muda (young ) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun. Menurut seorang ahli psikologi perkembangan, Santrock (1995), orang dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition) transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran sosial (social role trantition).
Perkembangan sosial masa dewasa awal adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah masa beralihnya padangan egosentris menjadi sikap yang empati. Pada masa ini, penentuan relasi sangat memegang peranan penting. Menurut Havighurst (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) tugas perkembangan dewasa awal adalah menikah atau membangun suatu keluarga, mengelola rumah tangga, mendidik atau mengasuh anak, memikul tangung jawab sebagai warga negara, membuat hubungan dengan suatu kelompok sosial tertentu, dan melakukan suatu pekerjaan. Dewasa awal merupakan masa permulaan dimana seseorang mulai menjalin hubungan secara intim dengan lawan jenisnya. Hurlock (1993) dalam hal ini telah mengemukakan beberapa karakteristik dewasa awal dan pada salah satu intinya dikatakan bahwa dewasa awal merupakan suatu masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru dan memanfaatkan kebebasan yang diperolehnya.
Dengan bertambahnya usia, semakin bertambahpula masalah-masalah yang menghampiri. Dewasa awal adalah masa transisi, dari remaja yang huru-hara, kemasa yang menuntut tanggung jawab. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak orang dewasa awal mengalami masalah-masalah dalam perkembangannya. Masalah-masalah itu antara lain:

1)   Penentuan identitas diri ideal vs kekaburan identitas.
Dewasa awal merupakan kelanjutan dari masa remaja. Penemuan identitas diri adalah hal yang harus pada masa ini. Jika masa ini bermasalah, kemungkinan individu akan mengalami kekaburan identitas. Salah satu cara agar pada masa dewasa awal ini, anak dapat menentukan identitas dirinya mengenai siapa dia, bagaimana keyakinannya, seperti apa nilai yang dianutnya, kesemuanya itu dapat ditanamkan sejak sedini mungkin dengan memanfaatkan perkembangan otak pada masa bayi dengan menggunakan metode-metode sederhana seperti mengajarkan anak berdoa dan tentang konsep ketuhanan serta nilai-nilai melalui cerita dongeng.

2)   Kemandirian vs tidak mandiri.
Ketidakmandirian pada fase dewasa awal biasanya diakibatkan oleh pola asuh yang salah ketika ia masih kecil. Menanamkan kebiasaan mandiri pada anak haruslah sedini mungkin. Caranya adalah dengan Orangtua juga harus bersikap positif pada anak, seperti: memuji, memberi semangat atau memberi pelukan hangat sebagai bentuk dukungan terhadap usaha mandiri yang dilakukan anak. Adanya penghargaan atas usaha anak untuk menjadi pribadi mandiri, terlepas dari apakah pada saat itu ia berhasil atau tidak. Dengan tumbuhnya perasaan berharga, anak akan memiliki kepercayaan diri yang sangat dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang selanjutnya. Betapapun kotornya anak pada saat ia mencoba makan sendiri, betapapun tidak rapinya anak pada saat ia mencoba mandi sendiri, betapapun lamanya waktu yang dibutuhkan anak untuk memakai kaus kaki dan memilih sepatu atau baju yang tepat, hendaknya orangtua tetap sabar untuk tidak bereaksi negatif terhadap anak, seperti mencela atau meremehkan anak. Apabila orangtua atau lingkungan bereaksi negatif atau tidak menghargai usaha anak untuk mandiri, maka hal ini akan berdampak negatif pada diri anak, seperti anak bisa tumbuh menjadi seorang yang penakut, tidak berani memikul tanggung jawab, tidak termotivasi untuk mandiri dan cenderung memiliki kepercayaan diri yang rendah.

3)   Sukses meniti jenjang pendidikan dan karir vs gagal menempuh jenjang pendidikan dan karir.
Kesuksesan seseorang dalam pendidikan dan kariernya, semuanya tergantung dari nilai-nilai yang menjadi landasan dalam setiap tindakan orang itu. Sedangkan penanaman nilai-nilai itu harus dimulai sejak sedini mungkin karena nilai-nilai yang ditanamkan sejak usia dini akan menjadi karakter atau sifat bawaan saat anak telah dewasa nantinya. Oleh sebab itu, orang tua harus selalu menanamkan nilai-nilai positif pada anak, agar ia tumbuh menjadi pribadi berkarakter baik pula. Salah satu cara penanaman nilai-nilai positif pada anak adalah dengan memberi contoh konkret pada anak sehingga dapat dilihatnya secara langsung. Anak usia dini, cenderung mencontoh apa yang ia lihatn secara langsung.

4)   Menikah vs tidak menikah (lambat menikah).
Mengambil keputusan untuk menikah atau tidak menikah adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan dewasa awal. Namun, dalam pengambilan keputusan itu banyak orang dewasa yang sering mengalami keraguan tentang memutuskan jalan hidupnya sendiri. Hal inilah yang kemudian menjadi suatu permasalahan yang melibatkan perasaan dan emosi yang berkepanjangan. Dalam pengambilan keputusan, sebenarnya dapat dilatih sejak dini pada anak dengan cara orang tua melibatkan anaknya saat mengambil keputusan. Misalnya, tanyakanlah pendapat anak tentang rencana yang dibuat orang tua untuk berlibur, atau menanyakan pendapat anak saat memilihkan pakaian untuknya. Hal ini dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada anak dan anak juga akan merasa bahwa ia dihargai.

5)   Hubungan sosial yang sehat vs menarik diri.
Masalah hubungan sosial pada fase dewasa awal juga merupakan bias dari rasa kurang percaya diri pada anak ketika usia dini. Kiat-kiat yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri anak dalam membina hubungan sosial dengan teman-teman sebayanya adalah dengan sistem pendidikan di rumah, dimana telah kita ketahui bersama bahwa rumah merupakan sekolah pertama anak, sehingga apapun yang diajarkan oleh orang tua akan terus melekat di otak bawah sadarnya. Selain pembelajaran dirumah, agar anak dapat bersosialisasi dengan baik, ada baiknya bila orang tua mengikutkan anaknya dalam kelompok bermain atau pendidikan anak usia dini sehingga anak dapat berinteraksi dengan teman-teman sebayanya.

  • PENGARUH PERKEMBANGAN OTAK BAYI TERHADAP MASALAH PERKEMBANGAN PADA FASE DEWASA AKHIR.
Dewasa akhir merupakan periode akhir dalam rentang kehidupan manusia di dunia ini.  Kisaran usia yang ada pada periode ini adalah enam puluh tahun ke atas. Pada periode ini terjadi penurunan atau kemunduran yang disebabkan oleh faktor fisik dan psikologis.
Permasalahan psikologis yang harus dihadapi pada fase dewasa akhir ini lebih berkaitan dengan penyesuaian diri terhadap kematian teman hidup, serta kesiapan diri untuk menghadapi kematian.

1)   Penyesuaian diri terhadap kematian teman hidup.
Pada fase dewasa akhir, hal yang biasanya membebani pikiran manusia adalah rasa kesepian akibat kematian dari teman hidup atau pasangan hidup. Sehingga seringkali mereka cenderung memilih untuk menjauh dari keramaian dan menyendiri mengingat kenangan-kenangan yang dilalui bersama pasangan hidupnya. Kesiapan seorang untuk menyesuaikan diri terhadap kematian pasangan hidup, biasanya diperoleh dari pemahaman dan penanaman tentang nilai-nilai dari kehidupan yang diperoleh dari kedua orang tuanya ketika kecil. Jika orang tua telah menanamkan nilai-nilai kehidupan seperti nilai keagamaan kepada anaknya sedini mungkin, maka pada fase dewasa akhir, ia akan dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap kematian pasangan hidup karena dalam agama, kematian merupakan kodrat alam bagi makhluk hidup ciptaan Tuhan.

2)   Kesiapan diri untuk menghadapi kematian.
Erich Fromm (1955) mengatakan bahwa manusia merupakan satu-satunya hewan yang tahu bahwa mereka harus mati. Pengetahuan tentang kematian yang tidak dapat dielakkan memberi kesempatan pada kita untuk membangun prioritas dan struktur waktu secara tepat. Saat kita bertambah umur, prioritas dan struktur berubah, tertuju pada keterbatasan masa depan. Nilai-nilai yang memfokuskan pada pentingnya penggunaan waktu juga berubah. Sebagai contoh, ketika ditanya bagaimana mereka menghabiskan waktu 6 bulan tersisa dalam hidupnya, orang-orang pada fase dewasa awal akan menggambarkan aktivitas seperti bepergian dan menyelesaikan sesuatu yang belum terselesaikan, sedangkan orang-orang dewasa akhir akan menggambarkan aktivitas yang lebih terfokus pada dirinya sendiri, kontemplasi dan meditasi. Seperti penjelasan yang telah disebutkan sebelumnya tentang penyesuaian diri terhadap kematian teman hidup, kesiapan seseorang dalam penghadapi kematiannya sendiri pun juga dipengaruhi oleh pemahaman nilai-nilai keagamaan yang ditanamkan sejak usia dini. Semakin orang itu paham tentang agamanya, maka semakin siap ia menghadapi kematiannya karena menganggap itu adalah kodratnya sebagai makhluk ciptaan tuhan. Meskipun dalam beberapa hal, Kebanyakan peneliti percaya bahwa bayi tidak memiliki konsep dasar tentang kematian. Namun, karena bayi mengembangkan keterkaitan dengan pengasuhnya, mereka dapat mengalami perasaan kehilangan atau pemisahan serta kecemasan yang menyertainya. Tapi anak-anak tidak memahami waktu sebagaimana orang dewasa. Bahkan perpisahan yang singkat mungkin dialami sebagai pepisahan total. Bagi kebanyakan bayi, kedatangan pengasuh kembali akan memberikan suatu kontinuitas eksistensi dan hal ini akan mereduksi kecemasan. Kita sangat sedikit mengetahui pengalaman aktual bayi tentang kehilangan walaupun kehilangan orang tua, terutama jika pengasuh tidak digantikan, yang dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan bayi. Anak usia 3-5 tahun memiliki sedikit ide bahkan tidak sama sekali mengenai apa yang dimaksud dengan kematian. Mereka sering kali bingung antara mati dengan tidur, dan bertanya dengan keheranan, “Mengapa ini tidak bergerak?” Diusia prasekolah, anak-anak jarang kaget dengan pemandangan seekor binatang yang mati atau dari cerita bahwa seseorang telah mati. Mereka percaya bahwa orang yang mati dapat menjadi hidup kembali secara spontan karena adanya hal yang magis atau dengan memberi mereka makan atau perawatan medis. Anak-anak sering kali percaya bahwa hanya orang-orang yang ingin mati, atau mereka yang jahat atau yang kurang hati-hati, yang benar-benar mati. Mereka mungkin juga menyalahkan diri mereka dan mengungkapkan alasan yang tidak logis bahwa peristiwa itu mungkin terjadi karena tidak patuh terhadap orang yang mati. Kadang-kadang dimasa kanak-kanak tengah dan akhir, konsep yang tidak logis mengenai kematian yang lambat laun berkembang hingga diperoleh suatu persepsi kematian yang lebih realistis. Dalam satu penelitian awal mengenai persepsi kematian pada seorang anak, usia 3-5 tahun menolak adanya kematian. Anak usia 6-9 tahun percaya bahwa kematian itu ada, tetapi hanya dialami oleh beberapa orang. Dan anak usia 9 tahun keatas akhirnya mengenali kematian dan universalitasnya. Kebanyakan ahli psikologi percaya bahwa kejujuran merupakan strategi terbaik dalam mendiskusikan kematian dengan anak-anak. “Mempermalukan” konsep kematian sebagai hal yang tidak pantas disebutkan, merupakan strategi yang tidak sesuai, walaupun kebanyakan dari kita masih tumbuh dalam suatu masyarakat dimana kematian sangat jarang didiskusikan. Dalam suatu penelitian, peneliti berusaha menilai sikap 30.000 orang usia dewasa awal terhadap kematian. Hasilnya, lebih dari 30% berkata bahwa mereka tidak dapat mengingat kembali diskusi mengenai kematian selama mereka kanak-kanak; dengan jumlah yang sama, yang lain mengatakan bahwa, meskipun kematian disiskusikan, namun diskussinya berlangsung dalam suasana yang tidak nyaman. Hampir setiap 1 dari 2 responden berkata bahwa kematian kakek atau neneknya merupakan kematian pertama kali yang mereka hadapi. Namun, setidaknya dengan berkata jujur terhadap anak tentang konsep kematian ketika anak menghadapi kemtian kakek atau neneknya merupakan suatu upaya positif untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan yang universal kepada anak sehingga nantinya ketika ia dewasa, ia akan menerima kodratnya sebagai ciptaan Tuhan dan harus menghadapi kematian.

 
Sumber:
Monks, Knoers, Haditono  (2001). Psikologi Perkembangan. Yogjakarta: Gajah Mada University Press.
Santrock, John W (1995). Life Span Development. Jakarta: Erlangga.
Qalbinur. Periodesasi Perkembangan Masa Dewasa Awal. http//qalbinur.wordpress.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar