Selasa, 28 Desember 2010

Mitologi

Lokasi Penemuan Bahtera Nabi Nuh
Dalam mitologi, dikatakan setiap bangsa di dunia menceritakan tentang banjir dahsyat yang mengerikan, seperti misalnya di antara lebih dari 130 suku Indian di benua Amerika hampir tidak ada suku yang tidak memitoskan tentang banjir dahsyat sebagai topik. Dan dalam mitologi China, Laos, Thailand, Jepang, Australia, Yunani, India, Mesir, dan negara lainnya juga tetap menyimpan ingatan tentang sebuah banjir yang mahabesar. Di sekitar pedalaman kaki Gunung Himalaya, Tibet, orang-orang menjumpai sebuah suku, keturunan dan rupa mereka hampir mirip dengan orang Yunani. Konon katanya, mereka adalah orang-orang yang beruntung masih hidup atas peristiwa banjir yang dahsyat itu.
Pada tahun 1986, kantor berita pemerintah Turki menyatakan bahwa 5.200 meter di atas permukaan laut puncak gunung (Ararat), telah ditemukan sebuah benda yang mirip dengan perahu Nabi Nuh yang berbentuk persegi empat, lalu mengambil gambarnya dari angkasa, dan panjang perahunya sesuai dengan yang dicatat dalam kitab suci. Lalu kenapa manusia bisa mengalami bencana itu? Mitologi dari setiap negara mempunyai penjelasan yang sama terhadap hal ini. Semua ini dikarenakan kemerosotan dan kebejatan manusia, lalu para "kehidupan tingkat tinggi" memutuskan untuk menghukum manusia. Seperti misalnya dalam kitab Injil, Perjanjian Lama, mengatakan Yahweh (Tuhannya orang Yahudi) melihat manusia telah melakukan perbuatan dosa, sepanjang hari segala yang dipikirkannya selalu yang jahat-jahat, lalu Yahweh merasa menyesal telah menciptakan manusia di dunia. Kemudian dengan perasaan sedih berkata pada Nabi Nuh. "Barang siapa yang mempunyai niat tertentu, ujung kehidupannya telah tiba di hadapanku, karena bumi dipenuhi dengan kelaliman mereka; Lihatlah, aku akan membuat luapan air bah di bumi, memusnahkan bumi."
Perahu Nabi Nuh
Para arkeolog dalam eksplorasi peninggalan kuno di Eropa bisa dengan jelas melihat jejak jatuhnya manusia. Apakah musnahnya manusia di masa lalu disebabkan oleh sekali luapan air bah? Kita adalah sekelompok manusia yang pelupa. Dalam sejarah Yesus dan Buddha Sakyamuni memang ada manusianya. Semuanya tercatat pada hal-hal yang mereka tinggalkan, seperti misalnya sewaktu Yesus mengalami penderitaan di atas paku kayu salib, orang-orang di jalanan menertawakan dan mengejeknya. "Jika kau adalah anak Allah, maka turunlah dari atas kayu salib. Dia telah menyelamatkan orang lain, tapi malah tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri, biarlah Allah yang akan menyelamatkannya, karena dia mengatakan bahwa dirinya adalah anak Allah," umpatnya. Yesus yang berada di atas kayu salib, benar-benar menderita. Di saat Yesus berseru dalam penderitaannya dan kemudian wafat, tirai yang berada di dalam tempat sembahyang dari atas hingga ke bawah robek menjadi dua bagian, bumi bergetar dan gunung pun berguncang. Semua orang yang berada di tempat itu menjadi terkesima, dan dengan takjub berkata "Oh! Dia benar-benar adalah anak dari Allah!" Dan tiga hari kemudian, Yesus bangkit kembali.
Dalam peninggalan sejarah dewata Buddha Sakyamuni juga banyak sekali tercatat hal-hal seperti itu. Namun sekarang, semua ini sepertinya telah lama dilupakan orang. Kita tidak hanya telah melupakan masa lalu, tapi kita juga kebingungan terhadap masa depan. Banyak sekali para peramal dalam sejarah yang sudah banyak meramalkan terhadap sejarah manusia, dan banyak sekali negara di dunia mempunyai ramalan yang beraneka ragam, seperti misalnya Nostradamus dari Perancis yang telah banyak meramalkan tentang munculnya perang dunia pertama dan kedua, perang Teluk serta runtuhnya komunisme Uni Soviet. Selain itu, pada zaman kerajaan Jawa kuno, Jayabaya telah meramalkan akan munculnya Dai Nipon (Jepang) sebagai kekuatan militer di Asia Pasifik yang menjajah Indonesia.
Juga paranormal China telah meramalkan perubahan dinasti dan pembentukan China yang baru. Ada yang telah meramalkan sekarang terdapat sebuah masa kebersamaan antara manusia dengan dewa-dewa, ada yang meramalkan bencana yang dahsyat pada manusia dan mengatakan jika terjadi sebuah kejadian tertentu, maka ramalan bencana dahsyatnya akan berakhir hingga di sini. Wahai manusia, jalan manakah yang harus ditempuh, semua mitos dan ramalan ini mungkin bisa memberikan beberapa pemikiran dan pelajaran yang berharga pada kita semua agar "terselamatkan". (Sumber : Dajiyuan)

Rabu, 22 Desember 2010

Biografi Ilmuan


Nicolaus Copernicus

Foto by: Google
Biografi

Lahir pada tanggal 19 Februari 1473 di Toruń, yang pada waktu itu di bawah kekuasaan suatu ordo Kristen bernama Ordo Teutonicum, nama aslinya ialah Niklas Koppernigk (Mikołaj Kopernik, dalam bahasa Polandia yang merupakan bahasa sehari-hari pada waktu itu). Baru belakangan, sewaktu ia mulai menulis karya akademinya, ia menggunakan nama Latin, Nicolaus Copernicus. Ayahnya, seorang saudagar yang berdagang di Toruń, mempunyai empat anak; Nicolaus adalah si bungsu. Sewaktu Nicolaus berusia 11 tahun, ayahnya meninggal. Seorang paman, bernama Lucas Waczenrode, mengasuh Nicolaus dan saudara-saudara kandungnya. Ia membantu Nicolaus memperoleh pendidikan yang baik, menganjurkannya untuk menjadi imam.
Pendidikan Nicolaus dimulai di kampung halamannya, tetapi belakangan dilanjutkan di Chełmno yang tidak jauh dari situ. Di sana ia belajar bahasa Latin dan mempelajari karya para penulis kuno. Pada usia 18 tahun, ia pindah ke Kraków, ibukota Polandia saat itu. Di kota ini ia kuliah di universitas dan mengajar dan mengejar hasratnya akan astronomi. Setelah ia menyelesaikan pendidikannya di Kraków, paman dari Nikolaus — yang pada waktu itu telah menjadi uskup di Warmia — memintanya untuk pindah ke Frombork, sebuah kota di Laut Baltik. Waczenrode ingin kemenakannya menduduki jabatan staf katedral.
Akan tetapi, Nicolaus yang berusia 23 tahun ingin memuaskan dahaganya akan pengetahuan dan berhasil membujuk pamannya untuk mengizinkan dia mempelajari hukum gereja, kedokteran, dan matematika di berbagai universitas di Bologna dan Padua, Italia. Di sana, Nicolaus bergabung dengan astronom Domenico Maria Novara dan filsuf Pietro Pomponazzi. Sejarawan Stanisław Brzostkiewicz mengatakan bahwa ajaran Pomponazzi telah "membebaskan pikiran astronom muda ini dari cengkraman ideologi abad pertengahan".
Di waktu senggangnya, Copernicus mempelajari karya para astronom zaman dahulu, menjadi begitu larut dalam karya tersebut sampai-sampai ketika ia mengetahui karya Latin itu tidak lengkap, ia mempelajari bahasa Yunani agar dapat meneliti naskah aslinya. Pada akhir pendidikannya, Nicolaus telah menjadi doktor hukum gereja, matematikawan, dan dokter. Ia juga pakar bahasa Yunani, menjadi orang pertama yang menerjemahkan sebuah dokumen dari bahasa Yunani langsung ke bahasa Polandia.

Menelurkan teori yang revolusioner

Sepulangnya ke Polandia, pamannya melantik dia sebagai sekretaris, penasihat, dan dokter pribadinya — suatu kedudukan yang bergengsi. Selama puluhan tahun berikutnya, Nicolaus menjabat berbagai kedudukan administratif, baik di bidang agama maupun sipil. Meski sangat sibuk, ia melanjutkan penelitiannya tentang bintang dan planet, mengumpulkan bukti untuk mendukung suatu teori yang revolusioner bahwa bumi bukan pusat yang tidak bergerak dari alam semesta tetapi, sebenarnya, bergerak mengitari matahari.
Teori ini bertentangan dengan ajaran filsuf yang terpandang, Aristoteles, dan tidak sejalan dengan kesimpulan matematikawan Yunani, Ptolemeus. Selain itu, teori Copernicus menyangkal apa yang dianggap sebagai "fakta" bahwa matahari terbit di timur dan bergerak melintasi angkasa untuk terbenam di barat, sedangkan bumi tetap tidak bergerak.
Copernicus bukanlah orang yang pertama yang menyimpulkan bahwa bumi berputar mengitari matahari. Astronom Yunani Aristarkhus dari Samos telah mengemukakan teori ini pada abad ketiga Sebelum Masehi. Para pengikut Pythagoras telah mengajarkan bahwa bumi serta matahari bergerak mengitari suatu api pusat. Akan tetapi, Ptolemeus menulis bahwa jika bumi bergerak, "binatang dan benda lainnya akan bergelantungan di udara, dan bumi akan jatuh dari langit dengan sangat cepat". Ia menambahkan, "sekadar memikirkan hal-hal itu saja terlihat konyol".
Ptolemeus mendukung gagasan Aristoteles bahwa bumi tidak bergerak di pusat alam semesta dan dikelilingi oleh serangkaian bola bening yang saling bertumpukan, dan bola-bola itu tertancap matahari, planet-planet, dan bintang-bintang. Ia menganggap bahwa pergerakan bola-bola bening inilah yang menggerakan planet dan bintang. Rumus matematika Ptolemeus menjelaskan, dengan akurasi hingga taraf tertentu, pergerakan planet-planet di langit malam.
Namun, kelemahan teori Ptolemeus itulah yang mendorong Copernicus untuk mencari penjelasan alternatif atas pergerakan yang aneh dari planet-planet. Untuk menopang teorinya, Kopernikus merekonstruksi peralatan yang digunakan oleh para astronom zaman dahulu. Walaupun sederhana dibandingkan dengan standar modern, peralatan ini memungkinkan dia menghitung jarak relatif antara planet-planet dan matahari. Selama bertahun-tahun, ia berupaya menetukan secara persis tanggal-tanggal manakala para pendahulunya telah membuat beberapa pengamatan penting di bidang astronomi. Diperlengkapi dengan data ini, Copernicus mulai mengerjakan dokumen kontroversial yang menyatakan bahwa bumi dan manusia di dalamnya bukanlah pusat alam semesta.

Kontroversi manuskrip
Foto by: Google


Copernicus menggunakan tahun-tahun terakhir kehidupannya untuk memperbaiki dan melengkapi berbagai argumen dan rumus matematika yang menopang teorinya. Lebih dari 95 persen dokumen akhir itu memuat perincian teknis yang mendukung kesimpulannya. Dokumen tulisan tangan orisinal ini masih ada dan disimpan di Universitas Jagiellonian di Kraków, Polandia. Dokumen ini tidak berjudul. Oleh karena itu, astronom Fred Hoyle menulis, "Kita benar-benar tidak tahu bagaimana Copernicus ingin menamai bukunya itu".
Bahkan sebelum karya itu diterbitkan, isinya telah membangkitkan minat. Copernicus telah menerbitkan sebuah rangkuman singkat tentang gagasannya dalam sebuah karya yang disebut Commentariolus. Alhasil, laporan tentang penelitiannya sampai ke Jerman dan Roma. Pada awal tahun 1533, Paus Klemens VII mendengar tentang teori Copernicus. Dan, pada tahun 1536, Kardinal Schönberg menyurati Copernicus, mendesak dia untuk menerbitkan catatan lengkap gagasannya. Georg Joachim Rhäticus, seorang profesor di Universitas Wittenberg di Jerman, begitu penasaran oleh karya Copernicus sampai-sampai ia mengunjungi Copernicus dan akhirnya menghabiskan waktu bersamanya selama dua tahun. Pada tahun 1542, Rhäticus membawa pulang sebuah salinan manuskrip itu ke Jerman dan menyerahkannya kepada seorang tukang cetak bernama Petraeius dan seorang juru tulis sekaligus korektor tipografi bernama Andreas Osiander.

Biografi Ilmuan


Galileo Galilei
Foto By: Google

Biografi

Galileo Galilei dilahirkan di Pisa, Tuscany pada tanggal 15 Februari 1564 sebagai anak pertama dari Vincenzo Galilei, seorang matematikawan dan musisi asal Florence, dan Giulia Ammannati. Ia sudah dididik sejak masa kecil. Kemudian, ia belajar di Universitas Pisa namun terhenti karena masalah keuangan. Untungnya, ia ditawari jabatan di sana pada tahun 1589 untuk mengajar matematika. Setelah itu, ia pindah ke Universitas Padua untuk mengajar geometri, mekanika, dan astronomi sampai tahun 1610. Pada masa-masa itu, ia sudah mendalami sains dan membuat berbagai penemuan.
Pada tahun 1612, Galileo pergi ke Roma dan bergabung dengan Accademia dei Lincei untuk mengamati bintik matahari. Di tahun itu juga, muncul penolakan terhadap teori Nicolaus Copernicus, teori yang didukung oleh Galileo. Pada tahun 1614, dari Santa Maria Novella, Tommaso Caccini mengecam pendapat Galileo tentang pergerakan bumi, memberikan anggapan bahwa teori itu sesat dan berbahaya. Galileo sendiri pergi ke Roma untuk mempertahankan dirinya. Pada tahun 1616, Kardinal Roberto Bellarmino menyerahkan pemberitahuan yang melarangnya mendukung maupun mengajarkan teori Copernicus.
Galileo menulis Saggiatore di tahun 1622, yang kemudian diterbitkan pada 1623. Pada tahun 1624, ia mengembangkan salah satu mikroskop awal. Pada tahun 1630, ia kembali ke Roma untuk membuat izin mencetak buku Dialogo sopra i due massimi sistemi del mondo yang kemudian diterbitkan di Florence pada 1632. Namun, di tahun itu pula, Gereja Katolik menjatuhkan vonis bahwa Galileo harus ditahan di Siena.
Di bulan Desember 1633, ia diperbolehkan pensiun ke vilanya di Arcetri. Buku terakhirnya, Discorsi e dimostrazioni matematiche, intorno à due nuove scienze diterbitkan di Leiden pada 1638. Di saat itu, Galileo hampir buta total. Pada tanggal 8 Januari 1642, Galileo wafat di Arcetri saat ditemani oleh Vincenzo Viviani, salah seorang muridnya.

Astronomi

Tidak seperti yang dipercaya sebagian orang, Galileo tidak menciptakan teleskop tapi ia telah menyempurnakan alat tersebut. Ia menjadi orang pertama yang memakainya untuk mengamati langit, dan untuk beberapa waktu, ia adalah satu dari sedikit orang yang bisa membuat teleskop sebagus itu. Awalnya, ia membuat teleskop hanya berdasarkan deskripsi tentang alat yang dibuat di Belanda pada 1608. Ia membuat sebuah teleskop dengan perbesaran 3x dan kemudian membuat model-model baru yang bisa mencapai 32x. Pada 25 Agustus 1609, ia mendemonstrasikan teleskop pada pembuat hukum dari Venesia. Selain itu, hasil kerjanya juga membuahkan hasil lain karena ada pedagang-pedagang yang memanfaatkan teleskopnya untuk keperluan pelayaran. Pengamatan astronominya pertama kali diterbitkan di bulan Maret 1610, berjudul Sidereus Nuncius.
Galileo menemukan tiga satelit alami Jupiter -Io, Europa, dan Callisto- pada 7 Januari 1610. Empat malam kemudian, ia menemukan Ganymede. Ia juga menemukan bahwa bulan-bulan tersebut muncul dan menghilang, gejala yang ia perkirakan berasal dari pergerakan benda-benda tersebut terhadap Jupiter, sehingga ia menyimpulkan bahwa keempat benda tersebut mengorbit planet.
Galileo adalah salah satu orang Eropa pertama yang mengamati bintik matahari, diperkirakan Astronomi astronom Tionghoa sudah mengamatinya sejak lama. Selain itu, Galileo juga adalah orang pertama yang melaporkan adanya gunung dan lembah di bulan, kesimpulan yang diambil melihat dari pola bayangan yang ada di permukaan. Ia kemudian memberi kesimpulan bahwa bulan itu "kasar dan tidak rata, seperti permukaan bumi sendiri", tidak seperti anggapan Aristoteles yang menyatakan bulan adalah bola sempurna. Galileo juga mengamati planet Neptunus pada 1612 namun ia tidak menyadarinya sebagai planet. Pada buku catatannya, Neptunus tercatat hanya sebagai sebuah bintang yang redup.

Selasa, 21 Desember 2010

Cerpen


Bangunkan Aku Saat September Berakhir

B
eginilah suasana menjelang senja di pinggir kota. Sekelompok remaja nongkrong di atas motor yang telah dimodif sambil ngobrol dan tertawa-tawa. Ada juga remaja yang duduk berdua-duaan, di atas sadel motor atau di trotoar. Anak-anak kecil berlarian sambil disuapi orang tuanya. Pengamen yang beristirahat setelah seharian bekerja. Dan gelandangan yang tidur di sisi pagar sebuah ruko.
Di salah satu sudut bangunan ruko itu, yang agak jauh dari kebisingan senja. Arya bersandar menghadap ke jalan. Hanya diam. Mengamati kendaraan atau orang-orang yang melintas. Menunggu Sang Surya kembali ke peraduannya. Yang ada dalam benak Arya saat ini hanyalah berusaha menghapus ingatanya akan peristiwa yang terjadi setahun lalu. Saat itu, bagi Arya semuanya telah dirampas secara keji oleh takdir. Semua angan dan cita-cita yang ia miliki telah terhempas oleh angin ketegangan yang berhembus dalam keluarganya. Di sela-sela lamunannya itu, tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya telah berdiri di hadapannya. Nama laki-laki itu adalah Andika atau lebih akrab disapa “Pae” diantara teman-teman sebayanya. Pae menghampiri Arya sambil menggotong 1 kerat minuman bersoda. Rencananya minuman itu mau dibawa ke bangunan tua tempat Pae dan teman-temannya yang lain biasa nongkrong. Jangan tanya untuk apa minuman sebanyak itu? Apakah mereka akan berpesta? Ah…yang benar saja, bagi orang-orang seperti Pae dan teman-temanya minum arak akan terasa lebih nikmat bila dicampur dengan minuman bersoda. Lain halnya dengan Arya yang baru sekitar 8 bulan mengenal Pae. Meskipun mereka dapat dibilang cukup akrab, namun sampai saat ini Arya masih belum terbiasa minum-minuman keras seperti yang biasa disuguhkan Pae padanya.
“Kamu lagi ngapain disini?” kata Pae sambil tersenyum memperlihatkan giginya yang kekuningan. Minuman keras dan asap rokok telah menindas warna putihnya.
“Ah, nggak lagi ngapa-ngapain kok. Minuman-minuman itu mau kamu bawa kemana ‘E’.” tanya Arya balik, seakan-akan dia tidak pernah tahu kelakuan temanya itu.
“Mau nyindir aku ya ‘Ar’ kalau kamu pengen ikut, dateng aja langsung ke markas. Ndak usah pura-pura gak tahu gitu, aku sama temen-temen yang lain kan mau pesta miras di markas. Gimana sih?” jawab Pae dengan nada sedikit menyindir.
Biasanya Arya tidak mau ikut pesta miras karena ia tidak terbiasa minum, tapi kali ini Arya menerima ajakan temannya itu. Mungkin pikirnya ia lebih baik mabuk dan melupakan hal yang berhubungan dengan keluarganya. “Toh, juga kejadian itu telah berlalu buat apa aku pikirin lagi.” gumam Arya dalam hati.
Malam itu Arya benar-benar telah mabuk berat. Yang ada dalam otaknya saat itu hanya minum-minum. Ketika pulang dari pesta miras Arya dan Pae melewati sebuah jalanan sepi. Saat itu dari kejauhan mereka mendengar suara dengungan yang begitu keras dan setitik cahaya yang menerobos kegelapan malam. Seketika kesunyian malam itu berubah menjadi ramai dan ricuh. Rupanya suara dengungan yang mereka dengar dan cahaya yang mereka lihat berasal dari kerumunan geng motor yang sedang adu balap atau istilah kerenya trek-trekan. Salah seorang yang beradu balap itu, sebut saja Rudy hampir menyerempet Arya. Terang saja, Arya dan Pae yang pada saat itu sedang dalam kondisi mabuk menjadi marah, lalu melemparkan botol minuman yang mereka bawa kearah Rudy dan tepat mengenai badanya. Rudy yang melaju dengan kecepatan tinggi, kehilangan keseimbangan dan terseret di aspal yang dingin. Kejadian itu mengundang kemarahan dari anggota geng motor yang lain. Para anggota geng motor tersebut langsung mengejar dan mengeroyok Arya dan Pae, sementara Rudy segera digotong oleh teman satu gengnya. Setelah anak-anak geng motor itu puas memukuli Arya dan Pae mereka langsung kabur, karena mendengar sirine mobil polisi yang sedang melakukan patroli dalam rangka “menghilangkan budaya trek-trekan di kalangan remaja”. Meskipun sebagian besar golongan masyarakat menganggap motto tersebut hanyalah kebohongan publik untuk menarik simpati rakyat, tetapi program itu tetap dilaksanakan dengan dalih kepentingan umum.
Anak-anak geng motor berhasil kabur, sementara polisi hanya menemukan 2 orang remaja yang tergeletak babak belur di pinggir jalan. Karena tidak memiliki kartu idenlitas polisi membawa kedua orang tersebut, yaitu Arya dan Pae ke “Rumah Sakit Polri” untuk mendapat pengobatan dan dimintai keterangan. Keesokan harinya Pae sudah sadar, namun ia sama sekali tidak dapat memberi keterangan seputar kejadian yang terjadi malam itu. “Saya sama sekali tidak ingat apa yang terjadi kemarin malam, yang saya ingat hanyalah ketika saya pergi keluar untuk minum-minum sama teman saya”, ungkap Pae dengan nada pasrah, karena memang malam itu dia dan Arya sedang mabuk berat. Kini Pae hanya bisa menunggu keputusan pihak berwajib tentang nasibnya, sudah terbukti bahwa ia berkeliaran di malam hari dalam kondisi mabuk.
Sementara Arya masih belum sadarkan diri, mungkin karena lukanya yang parah atau akibat dari dia terlalu banyak minum. Tetapi yang jelas, dalam tidurnya ia kembali melihat bayang-bayang keretakan dalam keluarganya yang telah menimbulkan trauma pada dirinya. Kejadian yang ia lihat terjadi pada pertengahan bulan September tahun lalu. Dimana saat itu Arya melihat ayah dan ibunya sedang bertengkar hebat. Dia mengintip pertengkaran kedua orang  tuanya dari pintu kamar tidur, dan tanpa sengaja ia melihat ayahnya mengarahkan sebuah pistol bertipe “Taurus Colt 38” kepada ibunya. Lalu, tanpa ragu-ragu ayahnya yang merupakan anggota TNI AL itu, menembak ibunya. Ibu Arya langsung menghembuskan nafas terakhirnya ketika peluru dari pistol bertipe TC 38 itu bersarang di dada kirinya.
Melihat ibunya telah terbaring di lantai, Arya langsung berlari ke luar kamar menghampiri tubuh ibunya yang sudah tidak bernyawa. Sambil menelan rasa takutnya, Arya memberanikan diri untuk bertanya kepada Ayahnya yang saat itu masih berdiri di depan mayat ibunya. “Mengapa ayah tega melakukan semua ini?” tanya Arya dengan nada membentak sambil terus meneteskan air matanya. Ayah Arya hanya diam saja ketika memdengar pertanyaan anaknya, kelihatannya sang ayah masih terkejut sebab Arya ternyata telah mendengar dan melihat pertengkaran dirinya dengan sang istri. “Ma…maafkan ayah nak” kata ayahnya kepada Arya dengan nada merendah dan mulai meneteskan air mata. Kemudian, tiba-tiba sang ayah mengangkat kembali pistolnya. Awalnya Arya mengira sang ayah akan mengarahkan pistol tersebut pada putranya, ternyata sang ayah mengarahkan pistol itu ke kepalanya sendiri. Sambil memejamkan mata sang ayah menembak kepalanya sendiri dan meninggal di tempat kejadian.
Menyadari bahwa dia dengan mata kepalanya sendiri telah melihat kematian kedua orang tuanya, Arya tidak mampu menahan emosinya. Ia langsung berteriak sekeras-kerasnya sehingga teriakannya mampu memecah kesunyian yang ada di gang-gang sekitar rumahnya. Mendengar teriakan Arya warga sekitar langsung datang mengerumuni rumahnya. Melihat kejadian tragis itu warga berpendapat bahwa Arya merupakan anak pembawa sial dan mulai diasingkan di wilayahnya sendiri. Sungguh sulit dimengerti pola pikir warga tersebut, di tengah era globalisasi seperti ini masih ada-ada saja orang perkotaan yang percaya tahayul semacam itu. Semenjak itu, Arya hanya tinggal sendiri di rumahnya dan dia hanya bisa memendam trauma yang dialaminya. Sungguh malang memang, nasib Arya yang merupakan korban dari keluarga yang hancur.
Beberapa bulan setelah peristiwa itu Arya mulai kenal dengan Pae, pertemuan keduanya diawali ketika Arya sedang ditodong oleh preman di halte pinggir kota. Pae dan teman-temannya yang pada saat itu kebetulan lewat melihat penodongan itu dan menolong Arya. Pae dan teman-temanya memukuli preman tersebut hingga babak belur.
“Makasi ya, atas pertolongannya” kata Arya.
“Makasi untuk apa? Gue ngak bermaksud nolongin loe. Ini wilayah kekuasaan gue saman geng gue. Jadi, ngak ada preman yang boleh macam-macam disini tanpa izin dari gue. Ngerti loe!” kata Pae kepada Arya dengan nada membentak.
Memang awalnya mereka tidak saling akrab, tetapi sejak Arya memutuskan untuk bergabung dengan geng Pae, Arya perlahan-lahan menjadi bersahabat karib dengan Pae. Setelah beberapa bulan berteman dengan Pae, Arya pun tahu kalau Pae ternyata juga merupakan korban dari kelurga yang hancur, meskipun kisah dari keluarga Pae tidak setragis kisah keluarga Arya.
Di akhir bayangan-bayangan masa lalu yang dilihatnya Arya mendapati diri sedang berjalan di sebuah lorong yang gelap. Dia terpaku menatap cahaya pelangi di ujung lorong tersebut. Arya pun berlari menuju cahaya itu, lalu perlahan-lahan penglihatannya mualai buram dan ia pun tersadar di ruang UGD Rumah Sakit Polri. Di hadapannya terlihat seorang dokter dan seorang polisi yang sedang berjaga. Di samping tempatnya terbaring, ia melihat Pae yang sedang menungguinya. “Arya, syukurlah kamu sudah sadar. Aku sangat takut, jika akan kehilangan teman terbaikku. Sebab kata dokter kau sudah 4 hari tidak sadarkan diri dan berada dalam kondisi kritis” kata Pae dengan nada terharuh.
“…tanggal berapa sekarang, da….dan bulan apa ini?” tanya Arya dengan nada menghela-hela nafas. Saat itu dokter telah menyadari bahwa sebentar lagi Arya akan meninggal.
“Hari ini tanggal 2 bulan September” jawap Pae dengan nada merendah.
“S…Sep…Sebtember…kalau begitu…biarkan aku kembali tidur ‘E’. Dan…bangunkan aku saat September berakhir…” Setelah mengucapkan kata-kata itu dengan terbata-bata, Arya langsung menghembuskan nafas terakhirnya.
Setelah Arya dimakamkan, kata-kata terakhirnya masih berdengung di telinga Pae. “Bangunkan aku saat September berakhir” gumam Pae dalam hati. Saat itu dia sadar bahwa sahabat karibnya itu sangat membencih bulan September, sebab semua kejadian tragis yang terjadi dalam hidupnya terjadi pada bulan itu. Sepeninggal kawannya, Pae memutuskan untuk memulai hidup baru yang jauh lebih bermanfaat bagi dirinya dan orang di sekitarnya. Tampaknya cerita-cerita kehidupan yang saling ia bagi dengan Arya dulu, telah memberikannya inspirasi.

Cerpen


“The Last Cigarette”

Putri memandang benda lintingan putih langsing di ujung jari-jari kanannya. Sudah dua tahun ia tak membakar dan menghisapnya dalam-dalam. Musik berdentum semakin keras. Iramanya tak terelakan, bagaikan magnet yang menariknya bergerak mengikuti hentakan lagu, seumpama remote control yang sengaja dipencet tombol-tombolnya oleh DJ sehingga ia otomatis bergoyang selaras bunyi.
Sahabat-sahabatnya, Ria, Maya, dan Indah masih sibuk di lantai dansa. Seharusnya Bram juga ikut malam ini. Berbagai rasa bak teraduk rata, tertumbuk halus di hati Putri hingga sulit diurai.
Putri masih memandang rokok itu. Keluaran baru. Futuristik. Bungkusnya saja mirip tempat lipstik. Hisap, jangan, hisap, jangan. Tak ada kancing yang dapat dihitung. Tapi kejadian tadi siang benar-benar membuatnya marah dan rasa panas itu masih memenuhi ubun-ubunnya hingga saat ini. Gambaran betapa paniknya Bram saat handphone-nya berdering saat mereka bersama di mobil dalam perjalanan pulang setelah makan siang, kembali terulang di benak Putri.
"Kok nggak dijawab, Bram?" tanya Putri setelah hampir tiga menit handphone Bram berdering terus.
"Nnngg... nggak...." Bram tampak bingung dan serba salah.
"Lho, kenapa?" Mata Putri mencari jawaban, "Memang, siapa sih yang telepon?"
"Nngg... bukan siapa-siapa...." Bram memalingkan wajah.
"Kalau bukan siapa-siapa kenapa nggak dijawab?" Putri memandang lurus ke depan. Perlahan rasa curiga merayapi hatinya. Tak lama kemudian SMS masuk bertubi-tubi. Bram membacanya dan bertambah gelisah.
"Ada apa sih, Bram?" Putri penasaran. "Dari Mamimu? Penting banget?" Tak ada jawaban, Putri meneruskan, "Kamu harus segera pulang? Kalau ya, aku naik taksi saja dari sini, nggak apa-apa kok."
Setelah menepikan mobilnya dan menarik nafas dalam-dalam, Bram menjelaskan bahwa yang menelepon itu adalah Rani, salah satu teman SMA mereka dan kini adalah juga kekasih Bram. Putri terentak antara sedih dan marah Tak sanggup pacaran jarak jauh menjadi alasan utama. Selama ini ia telah dibohongi.

***

Putri masih memainkan pemantik. Rokok sudah berpindah di tangan kiri. Matanya berkaca-kaca. Ia butuh pelampiasan, pelepasan, atau apapun itu. Namun keraguan mengais-ngais hatinya. Ia bisa berhenti merokok selama dua tahun, suatu rekor yang cukup lumayan dan membuat Maya, salah satu sahabatnya itu iri.
"Sudah... tidak apa. Sekali saja...." Bayangan Putri bertanduk merah dengan tongkat trisula membujuk di sebelah kiri.
 "Jangan, Putri! Kalau mau pelampiasan, disko saja sampai capek." Bayangan Putri berjubah putih dengan lingkaran emas melayang di atas kepala, bicara lembut di sebelah kanan.
"Halaaaah hanya sebatang ini! It's OK-lah...." Si Putri bertanduk tersenyum licik, dan kemudian tertawa penuh kemenangan ketika Putri asli menyalakan api lantas menghisap dalam-dalam rokok langsing itu.
"Lho, ngerokok lagi?" Maya terbelalak agak prihatin begitu mendapati sahabatnya itu sudah mengepulkan asap.
"Wuiiih... welcome back my Friend!" seru Indah dengan cengiran khasnya.
"Enak toh rokok baru ini?" Ria langsung menyalakan sebatang dan Maya juga tak ketinggalan.
Begitulah, akhirnya mereka berempat, sahabat sejak SMA menghabiskan malam berdansa di tengah dunia gemerlap lampu sorot warna-warni dan musik techno hingga nyaris subuh, dengan perjanjian setelah hari itu Putri tidak boleh bersedih lagi karena Bram.

***

Putri membuka mata dengan kepala yang terasa berkonde di depan dan belakang hasil dari kurang tidur dan reaksi minuman beralkohol. Astaga! Sudah jam sembilan pagi. Ia harus segera berangkat jika tak ingin ketinggalan pesawat. Tidur bisa diteruskan di perjalanan. Ia pun bergegas mandi.
 "Mi, Putri berangakat dulu ya?" Diciumnya Mami tercinta, tentu saja setelah ia mandi ala capung. Mami yang berjiwa muda dan sangat mengerti Putri, mengangguk dan menyenyuminya seperti biasa.
"Sudah minum aspirin?" Mami mengulurkan roti buat bekal jika Putri lapar di perjalanan.
 "Sudah, Mi," Putri memeluk sekali lagi. "I'm gonna miss you, Mam," ujarnya, enggan rasanya melepas. Walaupun usianya sudah di akhir duapuluhan, Putri masih saja manja kepada Maminya.
 "Jaga diri ya, Nak," Mami mengelus rambut Putri. "Kalau jatuh, bangun sendiri."
Putri tertawa. Ia segera masuk ke dalam taksi yang membawanya ke bandara.
Sampai jumpa lagi Mami, sampai jumpa lagi Malang, dan pergilah ke neraka, kau, Bram!

***

Tergopoh-gopoh Putri memasuki counter check-in dan mendapatkan pengumuman pesawatnya ditunda selama 'kemungkinan' dua jam.
"Huh, bete deh!" Putri menuju lounge sambil mengomel sendiri. "Kenapa sih pesawat di Indonesia jarang sekali yang tepat waktu?!"
Majalah yang dibelinya sudah habis terbaca. Kepastian keberangakatan belum ada juga. Menunggu hal yang tak pasti sangat menyebalkan. Rasa kantuk dan sakit kepala serta pedih di hati yang masih bercokol membuat Putri uring-uringan. Ia mencoba sebisa mungkin untuk tidak tertidur karena takut ketinggalan pesawat. Ah, tangannya menyentuh bungkus rokok semalam yang ternyata ada di dalam tasnya. Pastilah ia memasukkannya saat tidak sadar subuh tadi ketika tiba di rumah.
"Daripada ngantuk, sebatang tak apalah," Putri membatin guna meyakinkan dirinya sendiri sambil melangkah ke ruang khusus untuk merokok di ruang tunggu tersebut. "Mumpung masih di Malang."

***

Pesawat telah mendarat. Putri masih harus melanjutkan perjalanan dengan mobil travel untuk menuju kota tempat ia bekerja sebagai senior auditor internal sekaligus asisten kepercayaan alias tangan kanan Plant Manager sebuah perusahaan yang memproduksi dan mengekspor fashion plus perlengkapannya yang terbuat dari kulit. Kantor pusatnya ada di Jakarta, namun salah satu pabrik yang cukup besar ada di kota kecil ini. Kota kecil yang mulai terlihat perkembangannya. Kota kecil yang damai tenteram dan jauh dari ketergesa-gesaan sehingga menyuguhkan keteraturan hidup. Kota kecil yang masih menganggap tabu wanita merokok.

***

"Shit!" rutuk Putri dalam hati ketika data-datanya belum selesai sedangkan dead-line sudah di depan mata. "I  need to smoke...."
Tapi tak mungkin merokok di area kantor dan pabrik. Selain berbahaya untuk mesin, para karyawan lainnya bisa pingsan melihat ia menyulut rokok. Tak ada jalan lain, ia harus pulang ke kost.
"Maaf Pak Dika, saya harus pulang sebentar, ada data yang perlu saya ambil dari komputer di tempat kost," Putri berdalih.
Anggukan setuju dari Pak Dika. Segera Putri meluncur dengan mobil ke rumah kost yang hanya berjarak tiga kilometer dari kantor. Ia bersyukur kota ini bebas macet.
Siang hari rumah kost yang ia tempati sepi, belum ada yang pulang. Perlahan ia membuka pintu gembok gerbang dan pintu depan. Semua penghuni rumah kost tersebut memiliki kunci akses masuk. Aman,. pikir Putri. Bik Man sedang tidur siang. Ia mengendap-endap masuk ke kamar mandi samping sebelah kamarnya. Rokok, pemantik, kertas sebagai asbak, pengharum ruangan semprot beraroma mint pun sudah siap. Tak ketinggalan sebuah majalah untuk menghalau asap keluar jendela.
Setelah mengelap kering tutup closet, Putri duduk dan menyulut rokoknya. Dihisapnya dalam-dalam. Aroma tembakau pekat bercampur menthol manis terasa di lidah dan udara hangat memasuki kerongkongannya. Setelah ditahan beberapa saat, ia menghembuskan asap putih keabuan melalui mulutnya. Disusul hembusan berikutnya, dan selanjutnya. Rasanya bak surga dunia.
Setelah habis satu batang, Putri sibuk mengipas-ngipaskan majalah, dan menyemprotkan pengaharum ruangan dalam kamar mandi itu. Puntung rokok bersama abunya terlipat rapi di kertas berlapis. Ia keluar dan masih menyemprotkan pengharum di luar area kamar mandi. Lalu ia memakai parfum di baju dan rambutnya. Sambil memasukkan lipatan kertas isi puntung ke dalam plastik, Putri menepuk dahinya.
"Ya, ampun!" bisiknya. "Sikat gigi dulu, dong! Gawat kan kalau bau rokok."
Maka bergegaslah ia menggosok gigi.

***

Suatu sore di hari ke tujuh Putri menjalani kehidupan ganda alias menjadi gadis perokok di siang hari, Bik Man menghampirinya sambil melirik kiri kanan seolah takut ada yang menguping.
"Non, Non, tahu nggak? Hiii...." Bik Man bergidik.
"Apaan sih, Bik? Hiii itu apa?" Putri bingung.
"Kayaknya rumah ini ada hantunya, deh...." Bik Man mencengkeram lengan Putri sambil terus mengedarkan pandangannya, seolah berharap sekaligus tidak berharap menangkap sosok si Hantu.
"Ah, Bibik jangan nakut-nakuti aku dong!" Putri balik memegang erat bahu Bik Man. "Bibik kok bisa bilang begitu?"
 "Lha, iyalah, Non! Mosok akhir-akhir ini tiap siang sehabis Bibik bangun tidur, ada bau rokok di sekitar dekat kamar Si Non. Hiii...." Matanya menatap kamar mandi 'surga' Putri, sebelum berlanjut dengan kalimat sepolos bocah. "Kan di rumah ini nggak ada laki-lakinya. Ada juga Si Kaka," Bik Man menunjuk burung kakatua jantan milik Tante Rani, si empunya rumah.
"Ah, Bapak tukang bangunan sebelah rumah barangkali, Bik, yang ngerokok. Terus asapnya masuk ke rumah sini," Putri mengurai dusta, berusaha mewajarkan sikapnya dengan berusaha mengalihkan perhatian. "Oh ya Bik, boleh minta dibuatkan jus alpukat, ya? Sekarang."
Bik Man mengangguk, tak lagi melanjutkan 'tema' hantu yang merokok!
Putri bicara dalam hati," Wah, gawat nih kalau Bik Man ketakutan. Bisa-bisa bisa dia pensiun dini." Dahinya mengerut, berpikir keras, "Tapi kok... masih tercium ya bau asapnya?"

***

Malam itu Tante Rani datang mengunjungi para penyewa kamar di rumahnya, dan Putri memberanikan diri mengajukan usulan bahwa ia akan menambah exhaust fan di kamar mandi dari koceknya sendiri. Dan supaya tidak mencurigakan, ia juga menambah exhaust fan di dua kamar mandi lainnya.
 Tante Rani senang bukan kepalang dan sangat memuji Putri atas perhatiannya. Teman kost lainnya pun gembira dan memandang Putri seolah ia adalah pahlawan yang baru saja pulang membawa kemenangan karena berkat Putri sirkulasi udara kamar mandi dan toilet akan lancar sehingga kenyamanan hidung dapat terjaga terutama bila pengguna kamar mandi sebelumnya baru saja menunaikan 'panggilan alam'.
Entah bagaimana mulainya, Tante Rani mulai bernostalgia tentang suaminya yang meninggal akibat kanker paru-paru yang disebabkan oleh rokok. Jadilah cerita berulang-ulang itu terdengar lagi. Para wanita muda di sekitarnya hanya dapat tersenyum kecut sambil memutar otak bagaimana cara menghilang terbaik dari ruangan tersebut.
"Ah, nggak mungkinlah aku akan terkena kanker paru-paru. Toh hanya satu batang per hari. Maksimal tiga," Putri berusaha menenangkan diri dalam hati.

***

Dua bulan berlalu. Sakit hati Putri belum sembuh. Bram belum hilang dari hati dan benaknya. Satu batang tiap siang kian bertambah menjadi tiga sampai empat batang tiap pagi, siang, sore dan malam serta di setiap kesempatan yang ada. Total sehari bisa hampir satu bungkus.
 Sepertinya batangan-batangan itu lebih cepat habis terhisap dibandingkan dulu. Pekerjaan pun sering terbengkelai karena waktu yang tercuri dan terbuang untuk pulang pergi kost untuk merokok pada jam kantor. Otak Putri lebih sering digunakan untuk mencari alasan dan cara agar ia bisa menikmati batang-batang rokoknya. Hingga suatu siang, Putri dipanggil oleh Pak Dika.
 "Putri, apa kamu ada masalah akhir-akhir ini?" Pak Dika memandang dengan serius namun prihatin.
"Tidak, Pak." Putri menggeleng sambil mengaktifkan tampang lugu gadis desa tanpa dosa, berusaha meyakinkan pimpinannya itu. Segaris rasa bersalah menoreh hati Putri. Pak Dika sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri. Baik, perhatian, sekaligus tegas dan sangat percaya padanya. Sempat tergelitik untuk menceritakan kebiasaan barunya itu, tapi urung dilakukannya.
 "Terus terang, kinerjamu menurun akhir-akhir ini dan sangat mengganggu sekali." Pak Dika menarik nafas berat terngiang teguran dari Big Boss karena laporan audit yang tidak akurat. "Hampir seluruh laporanmu salah dan terlambat! Banyak keluhan, sulit sekali mencari kamu dan sudah berapa kali rapat penting kamu tidak hadir!" Pak Dika diam sejenak kemudian nadanya melembut. "Kalau ada masalah bilang saja. Siapa tahu Bapak bisa bantu mencarikan jalan keluarnya."
Putri tetap mematung. Kali ini ekspresi penuh sesal dan maaf yang terpampang di wajahnya.
 Pak Dika menghela nafas lagi, "Ada baiknya kamu cuti dulu, Putri. Toh jumlah cutimu juga masih banyak. Bapak harap apa pun yang kamu hadapi sekarang, dapat segera terselesaikan. Biar nanti Ami yang meng-handle pekerjaanmu sementara."
"Bu-bukan skorsing kan, Pak?" Putri ketar-ketir.
 "Bukan," Pak Dika menenangkan. "Bapak rasa kamu butuh refreshing sejenak. Siapkan form cutimu dan segera Bapak tandatangani."

                                                                        ***     

"Hai, hai...." Putri menyapa para sahabatnya pada janji temu di cafe resto langganan mereka.
"Cuti atau skorsing cara halus?" Ria bertanya sambil lalu seraya memanggil pelayan agar mencatat pesanan mereka.
"Kamu kelihatan kuyu, kusam," Maya menelaah penampilan temannya. "Kenapa sih mesti ngerokok lagi? Padahal, aku sendiri kepingin banget bisa berhenti, lho?"
Putri mengangkat bahu. Tidak bisa dipungkiri, Maya benar. Mata dan wajahnya tidak sebening dulu. Nafas pun terasa lebih sesak, belum lagi tenggorokan yang sering gatal tiba-tiba.
Pelayan datang. Mereka memesan makanan kesukaan masing-masing. Putri kemudian menceritakan kebiasaan lamanya yang kembali dilakoni.
"You are addicted, My Friend," kata Indah, ketika caffe latte-nya datang lebih dulu.
 "Semua kecanduan makin lama dosisnya makin besar. You name it... ciggarette, alcohol, drugs, gambling, sex..."
"Kecanduan bisa sembuh, kan ?" Putri mencoba mencari jalan keluar dengan argumentasi yang lemah. "Toh aku pernah stop."
"Iya, tapi terus balik lagi," tampik Ria sambil sembari menyomot kentang goreng dari piringnya yang baru saja diletakkan di atas meja. "Lagian, ngapain sih pakai ngumpet-ngumpet? Pakai menghabiskan bensin bolak-balik dari kantor ke kost, lalu memasang exhaust fan segala. Ya, sudah... enjoy saja lagi!" jelasnya. "Hm... atau mungkin karena kucing-kucingan itu barangkali, kamu merasa jadi semakin suspense dan menantang, tambah nggak bisa lepas. Seperti orang selingkuhlah kira-kira. Setiap saat yang dilalui bersama menjadi amat sangat berharga dan anything will be done to have that moment...."
"Ya, benar banget tuh, Tri," tambah Indah. "Cuek saja lagi. Just be yourself-lah. Jangan sok munafik," ujarnya enteng dengan mulut mengunyah makanan.
"Kalian bisa ngomong begitu karena di sini sudah umum melihat perempuan dengan rokok di tangan. Kalau kalian di kantor butuh refreshing tinggal pergi ke daerah tangga darurat dan merokok. Just like that," Putri menjentikan jari tengah dan ibu jarinya. "There, I really I’am against the environment, against the rules." Putri membela diri. "Lagian, aku kan mulai lagi karena sebel sama Bram."
"Please, deh...." Indah mulai bete. Ia paling tidak suka sahabatnya menjadi lemah karena patah hati. "Nggak ada hubungannya antara rokok dan Bram. Rokok ya rokok. Bram ya Bram. Masih bagus ketahuan dari sekarang dia bohongi kamu ketimbang setelah kalian menikah!"
"Tapi... for your information, Ladies, rokok itu sudah seperti teman baik, di bawah satu level dari kalianlah. Selalu ada saat aku sebal, hampa, bosan, sakit perut, senang, excited, dan banyak lainnya deh!" Putri tetap berusaha membela diri.
Maya menginjak Indah yang asyik dengan spaghetti-nya. "Iya, Neng. Tapi kalau sudah sampai mengganggu pekerjaan sih namanya bukan teman lagi!" sanggahnya. Piring kedua berisi kentang goreng mendarat di hadapannya. "Tell you a secret, ya? Kami ini senang banget waktu kamu berhenti merokok, dan kepingin banget bisa kayak kamu."
"Iya, bener !" Indah dengan mulut penuh melanjutkan. "Memang sih level niat berhentiku paling rendah dibanding mereka berdua... tapi at least ada niatlah...."
Putri tercenung. Mereka benar. Ini pertikaian antara ego melawan tawaran menjadi lebih baik dan lebih sehat. Pergulatan antara membuat keputusan serta komitmen versus keengganannya melepas kebiasaan. Bram? Kalau dipikir, ditimbang, dan dirasa lagi, Bram sebenarnya sudah 'ke laut'. Stop, jangan, stop, jangan. Putri tak berdaya. Tetap tak ada kancing yang dapat dihitung.

***

Putri memasuki ruangan sederhana bergaya minimalis itu. Ia telah membicarakan penyebab ia sering menghilang pada jam kantor kepada Pak Dika beberapa hari yang lalu. Pimpinannya itu memberikan alamat di salah satu kota besar dekat kota mereka bekerja. Tempat yang dapat Putri kunjungi setiap hari Sabtu sehingga tidak mengganggu jam kantor.
Putri menghela nafas.
"Iih... ngapain sih ke sini?" Bayangan Putri bertanduk merah dengan trisula ditangannya tampak cemberut di sebelah kiri.
 "Teruskan Tri, jalanmu sudah benar!" Bayangan Putri berjubah putih dengan lingkaran emas melayang di atas kepala menyemangati di sebelah kanan. "Ayo, jangan ragu!" desaknya lagi bijak, lalu tersenyum penuh kemenangan saat Putri asli mengetuk pintu masuk.
"Selamat pagi, Putri," sapa dr. Purnomo, "Sudah siap menjalani sesi hypnoteraphy yang pertama?"

_____________________