Jumat, 12 Juli 2013

"Mahasiswa dan Koruptor: Apakah Sekedar “Maling Teriak Maling?”

Perilaku Koruptif di Indonesia dalam Kacamata Filsafat Manusia
Picture by Google

Perilaku koruptif di Indonesia bukanlah suatu fenomena baru, bahkan perilaku koruptif dapat disebut sebagai suatu budaya yang telah berakar kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hampir setiap hari berita yang ditayangkan di media televisi, radio, maupun internet adalah berita tentang korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin bangsa. Begitu juga dengan berita di Koran, hampir setiap hari kita membaca kasus korupsi. Kasus korupsi di Indonesia seakan tak ada habisnya, tertangkap satu orang, muncul seribu nama baru lagi dalam kasus itu. Lalu, apa yang menyebabkan perilaku koruptif di kalangan pemimpin bangsa? Hal itu, tentunya menimbulkan banyak keheranan. Pasalnya para pemimpin yang korup, bukanlah orang yang perpenghasilan rendah. Mereka tidak ada yang hidup susah, semuanya hidup berkecukupan. Namun, tetap saja mereka mengambil lebih daripada apa yang menjadi haknya dengan melakukan perilaku koruptif.
Jika dilihat dalam kajian filsafat manusia, perilaku koruptif yang dilakukan oleh pemimpin bangsa ini merupakan akibat dari mereka mengobjekkan dirinya, artinya mereka yang melakukan korupsi hanya berorientasi pada dirinya sendiri untuk pemenuhan segala kebutuhannya sendiri dan didukung oleh kebutuhan manusia yang tak ada batasnya, maka mereka tak akan pernah puas dan akan terus berusaha memenuhi kebutuhannya lagi dan lagi. Misalnya dalam hal kekayaan materi, meskipun para pejabat telah memiliki rumah mewah dan mobil mewah, mereka ingin memiliki lebih dari yang mereka miliki sekarang. Para pemimpin yang demikian hanya menilai dirinya berdasarkan harta benda yang dimiliki dan menganggap semua bawahannya (rakyatnya) bukanlah apa-apa dan yang ada dan berhak untuk mendapatkan kemakmuran adalah diri sendiri. Hal itu senada dengan pendapat dari seorang filsuf barat yaitu Emmanuel Levinas yang menyebutkan bahwa, “ aku” (ego) mendapat prioritas utama. Prioritas itu mengaburkan, bahkan meniadakan segi-segi penting lainnya dari “yang lain”. Kesadaran akan “aku hanya memasukkan “yang lain” ke dalam si “aku”. “Yang lain” hanya merupakan bagian dari si “aku” dan yang ada sebenarnya hanyalah si “aku” saja. Berdasarkan pendapat dari Levinas, korupsi adalah tindakkan yang tidak menganggap manusia lainnya sebagai manusia, mungkin dianggap lebih rendah dari manusia ataupun dianggap tidak ada sama sekali.
Pemimpin bangsa yang korup tidak menganggap rakyatnya sebagai manusia atau sebagai orang-orang yang harus disejahterakan, karena itulah banyak pemimpin/petinggi-petinggi pemerintahan yang mengkorupsi dana tunjangan kesehatan warga miskin, padahal diluar sana banyak warga miskin yang tak mendapatkan fasilitas kesehatan yang layak bahkan banyak yang meninggal sebelum sempat mendapat pertolongan. Ketika hal tersebut terjadi, sesungguhnya korupsi merupakan perilaku yang sama dengan membunuh, bahkan lebih kejam karena membunuh secara perlahan-lahan sekian banyak orang yang menjadi rakyatnya.
Perlu ditekankan pula, pandangan ilmu subjek dan ilmu objek yang menyatakan bahwa, “orang yang mengobjekkan dirinya sendiri tidak akan bisa mengsubjekkan orang lain.” Hal itu sama dengan pemimpin yang mengobjekkan dirinya sendiri tentunya tak akan bisa mengsubjekkan rakyatnya. Akibatnya, pemimpin yang demikian tidaklah peka melihat kondisi rakyatnya. Pemimpin yang kurang peka dikatakan tak memiliki empati, karena tak pernah mau mendengar aspirasi rakyatnya. Dengan demikian, faktor lain yang menyebabkan perilaku koruptif di kalangan pemimpin adalah bahwa ia tidak mampu membangun hubungan dengan rakyatnya. Menurut pendapat dari Martin Buber, yang menyatakan bahwa titik pangkal hubungan dengan orang lain adalah dua kata dasar “aku-engkau” dan “aku-itu”. Konsep itu adalah konsep tentang rasa empati. Pemimpin yang mampu mengembangkan rasa empatinya akan mampu membangun hubungan yang baik dengan rakyatnya dan akan lebih memiliki kematangan moral untuk tidak korupsi karena jika ia korup, maka rakyatnya akan menderita. Pemimpin yang demikian, merupakan pemimpin yang sadar akan eksistensinya sebagai seorang pemimpin yang diperlukan oleh rakyatnya. Sayangnya, untuk Indonesia pemimpin yang memiliki empati masih jarang adanya.
Kemudian, berbicara mengenai perilaku koruptif para pemimpin bangsa dan elite politik, perilaku tersebut tidak muncul begitu saja. Perilaku tersebut biasanya sudah diproduksi semenjak mahasiswa. Secara tidak sadar, korupsi telah dipelajari semenjak mahasiswa. Korupsi juga dipelajari di organisasi-organisasi kemahasiswaan. Kebiasaan korupsi itu dibentuk oleh praktik sosial yang terus berulang. Proses perulangannya dimulai ketika masih mahasiswa. Sebagai contoh ketika mahasiswa menjadi aktivis dan ketika akan mengadakan demonstrasi biasanya ada aksi penggalangan dana dengan meminta sumbangan dan dana sponsor. Namun, setelah itu pertanggungjawaban dana yang didapatkan tidak dilakukan. Dalam hal ini, mahasiswa tidak dilatih untuk bersikap akuntable dan transparan dalam setiap kegiatan mahasiswa yang menggunakan anggaran. Padahal, yang dituntut untuk akuntable dan transparan tidak hanya lembaga-lembaga negara, tetapi juga masyarakat. Akibat tidak jelasnya sistem pengajuan anggaran dalam pengadaan kegiatan mahasiswa, hal itu secara tak sadar telah melatih mahasiswa untuk mengobjekkan dirinya sendiri demi mendapatkan dana kegiatan, seperti memanipulasi anggaran atau tak mengeluarkan laporan pertanggungjawaban, bahkan pemalsuan tanda tangan di proposal kegiatan. Segala upaya yang tak halal dilakukan hanya agar dana kegiatan itu bisa diperoleh. Hal ini juga merupakan hakikat manusia yang disampaikan oleh Karl Marx yaitu manusia adalah makhluk ekonomi, mereka akan melakukan apa saja demi keuntungannya dan agar tujuannya tercapai, pandangan ini menitiberatkan pada pandangan materialisme.
Contoh lainnya adalah mahasiswa sewaktu menjadi aktivis dan mengadakan kegiatan cenderung mengabaikan kuliahnya agar kegiatan berjalan dengan lancar. Tak heran jaman sekarang banyak aktivis yang membolos saat jam kuliah demi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan kemahasiswaan. Hal itu berarti, mereka mengobjekkan dirinya sendiri dengan mengabaikan tugas utamanya sebagai seorang mahasiswa yaitu menuntut ilmu. Mahasiswa yang demikian adanya telah menerapkan perilaku koruptif dalam hal waktu dan biaya kuliah yang dibayarkan oleh kedua orang tuanya setiap semester. Cara mahasiswa bertindak yang seperti itulah yang sebenarnya telah termasuk dalam perilaku koruptif. Inilah mengapa mengapa banyak aktivis yang terjebak kasus korupsi ketika menjadi pejabat negara ataupun elite politik. Ketika masih menjadi aktivis mahasiswa, mereka berbondong-bondong turun ke jalan memprotes aksi korupsi yang dilakukan para pejabat dengan mengabaikan kewajibannya sebagai mahasiswa yaitu menuntut ilmu, dan ketika menjadi orang-orang yang berkedudukan, mereka malah akan berbondong-bondong korupsi, bukankah seperti “maling teriak maling.”
Jadi, kesimpulan yang dapat saya sampaikan adalah bahwa sejatinya mental koruptor dan perilaku koruptif telah dipelajari semenjak di bangku pendidikan, ya katakanlah mahasiswa sehingga ketika mahasiswa yang notabene merupakan “Iron Stock” (generasi penerus roda kepemimpinan) telah memiliki mental dan perilaku koruptif, maka kaus korupsi di Indonesia tetap tak akan ada habisnya. Kemudian yang bisa saya sarankan adalah agar untuk menyikapi kasus korupsi sebaiknya teman-teman mahasiswa memilih jalur yang lebih kritis seperti menulis tajuk tentang korusi dan mempublikasikannya di media cetak seperti koran dan rajin mengikuti perkuliahan disamping mengikuti organisasi kemahasiswaan, mengikuti organisasi kemahasiswaan memang hal yang bagus, namun bila itu sampai meninggalkan kuliah, tentu tak sebagus kelihatannya. Saran untuk dunia pendidikan adalah ada baiknya bila mahasiswaa dan pelajar diajarkan untuk akutable dalam setiap kegiatannya yang memerlukan dana dan aturan untuk itu dipertegas kembali, yang terakhir saran untuk aparat penegak hukum agar hukuman untuk para koruptor dipertegas, kalau perlu berikan hukuman mati seperti menghukum para teroris karena sesungguhnya koruptor dan teroris sama-sama mengancap kehidupan banyak orang. Jika aksi terorisme yang dalam peladakkan bom dapat membunuh nyawa sekian orang dengan seketika, maka koruptor mungkin dapat dikatakan lebih kejam, mereka dapat membunuh nyawa seluruh penduduk Indonesia secara perlahan dan pasti dengan sisksaan di berbagai bidang kehidupan.

Akhir kata, jadilah generasi yang jujur dan berintegritas! Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar