OTAK DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN PADA FASE DEWASA AWAL DAN DEWASA AKHIR
- PENGARUH PERKEMBANGAN OTAK BAYI TERHADAP MASALAH PERKEMBANGAN PADA FASE DEWASA AWAL
Dewasa awal adalah masa peralihan dari
masa remaja. Masa remaja yang ditandai dengan pencarian identitas diri, pada
masa dewasa awal, identitas diri ini didapat sedikit-demi sedikit sesuai dengan
umur kronologis dan mental age-nya. Berbagai masalah juga muncul dengan
bertambahnya umur pada masa dewasa awal. Dewasa awal adalah masa peralihan dari
ketergantungan kemasa mandiri, baik dari segi ekonomi, kebebasan menentukan
diri sendiri, dan pandangan tentang masa depan sudah lebih realistis.
Erickson (dalam Monks, Knoers &
Haditono, 2001) mengatakan bahwa seseorang yang digolongkan dalam usia dewasa
awal berada dalam tahap hubungan hangat, dekat dan komunikatif dengan atau
tidak melibatkan kontak seksual. Bila gagal dalam bentuk keintiman maka ia akan
mengalami apa yang disebut isolasi (merasa tersisihkan dari orang lain,
kesepian, menyalahkan diri karena berbeda dengan orang lain).
Hurlock (1990) mengatakan bahwa dewasa
awal dimulai pada umur 18 tahun samapi kira-kira umur 40 tahun, saat
perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan
reproduktif.
Secara umum, mereka yang tergolong
dewasa muda (young ) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun. Menurut
seorang ahli psikologi perkembangan, Santrock (1995), orang dewasa muda
termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition) transisi
secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran sosial (social
role trantition).
Perkembangan sosial masa dewasa awal
adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah
masa beralihnya padangan egosentris menjadi sikap yang empati. Pada masa ini,
penentuan relasi sangat memegang peranan penting. Menurut Havighurst (dalam
Monks, Knoers & Haditono, 2001) tugas perkembangan dewasa awal adalah
menikah atau membangun suatu keluarga, mengelola rumah tangga, mendidik atau
mengasuh anak, memikul tangung jawab sebagai warga negara, membuat hubungan
dengan suatu kelompok sosial tertentu, dan melakukan suatu pekerjaan. Dewasa
awal merupakan masa permulaan dimana seseorang mulai menjalin hubungan secara
intim dengan lawan jenisnya. Hurlock (1993) dalam hal ini telah mengemukakan
beberapa karakteristik dewasa awal dan pada salah satu intinya dikatakan bahwa
dewasa awal merupakan suatu masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru dan
memanfaatkan kebebasan yang diperolehnya.
Dengan bertambahnya usia, semakin
bertambahpula masalah-masalah yang menghampiri. Dewasa awal adalah masa
transisi, dari remaja yang huru-hara, kemasa yang menuntut tanggung jawab.
Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak orang dewasa awal mengalami masalah-masalah
dalam perkembangannya. Masalah-masalah itu antara lain:
1)
Penentuan identitas
diri ideal vs kekaburan identitas.
Dewasa
awal merupakan kelanjutan dari masa remaja. Penemuan identitas diri adalah hal
yang harus pada masa ini. Jika masa ini bermasalah, kemungkinan individu akan
mengalami kekaburan identitas. Salah satu cara agar pada masa dewasa awal ini,
anak dapat menentukan identitas dirinya mengenai siapa dia, bagaimana
keyakinannya, seperti apa nilai yang dianutnya, kesemuanya itu dapat ditanamkan
sejak sedini mungkin dengan memanfaatkan perkembangan otak pada masa bayi
dengan menggunakan metode-metode sederhana seperti mengajarkan anak berdoa dan
tentang konsep ketuhanan serta nilai-nilai melalui cerita dongeng.
2)
Kemandirian vs tidak mandiri.
Ketidakmandirian
pada fase dewasa awal biasanya diakibatkan oleh pola asuh yang salah ketika ia
masih kecil. Menanamkan kebiasaan mandiri pada anak haruslah sedini mungkin.
Caranya adalah dengan Orangtua juga
harus bersikap positif pada anak, seperti: memuji, memberi semangat atau
memberi pelukan hangat sebagai bentuk dukungan terhadap usaha mandiri yang
dilakukan anak. Adanya penghargaan atas usaha anak untuk menjadi pribadi
mandiri, terlepas dari apakah pada saat itu ia berhasil atau tidak. Dengan tumbuhnya
perasaan berharga, anak akan memiliki kepercayaan diri yang sangat dibutuhkan
dalam proses tumbuh kembang selanjutnya. Betapapun kotornya anak pada saat ia
mencoba makan sendiri, betapapun tidak rapinya anak pada saat ia mencoba mandi
sendiri, betapapun lamanya waktu yang dibutuhkan anak untuk memakai kaus kaki
dan memilih sepatu atau baju yang tepat, hendaknya orangtua tetap sabar untuk
tidak bereaksi negatif terhadap anak, seperti mencela atau meremehkan anak.
Apabila orangtua atau lingkungan bereaksi negatif atau tidak menghargai usaha
anak untuk mandiri, maka hal ini akan berdampak negatif pada diri anak, seperti
anak bisa tumbuh menjadi seorang yang penakut, tidak berani memikul tanggung
jawab, tidak termotivasi untuk mandiri dan cenderung memiliki kepercayaan diri
yang rendah.
3)
Sukses meniti jenjang
pendidikan dan karir vs gagal
menempuh jenjang pendidikan dan karir.
Kesuksesan
seseorang dalam pendidikan dan kariernya, semuanya tergantung dari nilai-nilai
yang menjadi landasan dalam setiap tindakan orang itu. Sedangkan penanaman
nilai-nilai itu harus dimulai sejak sedini mungkin karena nilai-nilai yang
ditanamkan sejak usia dini akan menjadi karakter atau sifat bawaan saat anak
telah dewasa nantinya. Oleh sebab itu, orang tua harus selalu menanamkan
nilai-nilai positif pada anak, agar ia tumbuh menjadi pribadi berkarakter baik
pula. Salah satu cara penanaman nilai-nilai positif pada anak adalah dengan
memberi contoh konkret pada anak sehingga dapat dilihatnya secara langsung.
Anak usia dini, cenderung mencontoh apa yang ia lihatn secara langsung.
4)
Menikah vs tidak menikah (lambat menikah).
Mengambil
keputusan untuk menikah atau tidak menikah adalah hal yang sangat penting dalam
kehidupan dewasa awal. Namun, dalam pengambilan keputusan itu banyak orang
dewasa yang sering mengalami keraguan tentang memutuskan jalan hidupnya
sendiri. Hal inilah yang kemudian menjadi suatu permasalahan yang melibatkan
perasaan dan emosi yang berkepanjangan. Dalam pengambilan keputusan, sebenarnya
dapat dilatih sejak dini pada anak dengan cara orang tua melibatkan anaknya
saat mengambil keputusan. Misalnya, tanyakanlah pendapat anak tentang rencana
yang dibuat orang tua untuk berlibur, atau menanyakan pendapat anak saat
memilihkan pakaian untuknya. Hal ini dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada
anak dan anak juga akan merasa bahwa ia dihargai.
5)
Hubungan sosial yang
sehat vs menarik diri.
Masalah
hubungan sosial pada fase dewasa awal juga merupakan bias dari rasa kurang
percaya diri pada anak ketika usia dini. Kiat-kiat yang dapat menumbuhkan rasa
percaya diri anak dalam membina hubungan sosial dengan teman-teman sebayanya
adalah dengan sistem pendidikan di rumah, dimana telah kita ketahui bersama
bahwa rumah merupakan sekolah pertama anak, sehingga apapun yang diajarkan oleh
orang tua akan terus melekat di otak bawah sadarnya. Selain pembelajaran
dirumah, agar anak dapat bersosialisasi dengan baik, ada baiknya bila orang tua
mengikutkan anaknya dalam kelompok bermain atau pendidikan anak usia dini
sehingga anak dapat berinteraksi dengan teman-teman sebayanya.
- PENGARUH PERKEMBANGAN OTAK BAYI TERHADAP MASALAH PERKEMBANGAN PADA FASE DEWASA AKHIR.
Dewasa akhir merupakan periode akhir
dalam rentang kehidupan manusia di dunia ini. Kisaran usia yang ada pada
periode ini adalah enam puluh tahun ke atas. Pada periode ini terjadi penurunan
atau kemunduran yang disebabkan oleh faktor fisik dan psikologis.
Permasalahan psikologis yang harus
dihadapi pada fase dewasa akhir ini lebih berkaitan dengan penyesuaian diri
terhadap kematian teman hidup, serta kesiapan diri untuk menghadapi kematian.
1)
Penyesuaian diri
terhadap kematian teman hidup.
Pada
fase dewasa akhir, hal yang biasanya membebani pikiran manusia adalah rasa
kesepian akibat kematian dari teman hidup atau pasangan hidup. Sehingga
seringkali mereka cenderung memilih untuk menjauh dari keramaian dan menyendiri
mengingat kenangan-kenangan yang dilalui bersama pasangan hidupnya. Kesiapan
seorang untuk menyesuaikan diri terhadap kematian pasangan hidup, biasanya
diperoleh dari pemahaman dan penanaman tentang nilai-nilai dari kehidupan yang
diperoleh dari kedua orang tuanya ketika kecil. Jika orang tua telah menanamkan
nilai-nilai kehidupan seperti nilai keagamaan kepada anaknya sedini mungkin,
maka pada fase dewasa akhir, ia akan dapat menyesuaikan diri dengan baik
terhadap kematian pasangan hidup karena dalam agama, kematian merupakan kodrat
alam bagi makhluk hidup ciptaan Tuhan.
2)
Kesiapan diri untuk
menghadapi kematian.
Erich
Fromm (1955) mengatakan bahwa manusia merupakan satu-satunya hewan yang tahu
bahwa mereka harus mati. Pengetahuan tentang kematian yang tidak dapat
dielakkan memberi kesempatan pada kita untuk membangun prioritas dan struktur
waktu secara tepat. Saat kita bertambah umur, prioritas dan struktur berubah,
tertuju pada keterbatasan masa depan. Nilai-nilai yang memfokuskan pada
pentingnya penggunaan waktu juga berubah. Sebagai contoh, ketika ditanya
bagaimana mereka menghabiskan waktu 6 bulan tersisa dalam hidupnya, orang-orang
pada fase dewasa awal akan menggambarkan aktivitas seperti bepergian dan
menyelesaikan sesuatu yang belum terselesaikan, sedangkan orang-orang dewasa
akhir akan menggambarkan aktivitas yang lebih terfokus pada dirinya sendiri,
kontemplasi dan meditasi. Seperti penjelasan yang
telah disebutkan sebelumnya tentang penyesuaian diri terhadap kematian teman
hidup, kesiapan seseorang dalam penghadapi kematiannya sendiri pun juga
dipengaruhi oleh pemahaman nilai-nilai keagamaan yang ditanamkan sejak usia
dini. Semakin orang itu paham tentang agamanya, maka semakin siap ia menghadapi
kematiannya karena menganggap itu adalah kodratnya sebagai makhluk ciptaan
tuhan. Meskipun dalam beberapa hal, Kebanyakan peneliti percaya bahwa bayi
tidak memiliki konsep dasar tentang kematian. Namun, karena bayi mengembangkan
keterkaitan dengan pengasuhnya, mereka dapat mengalami perasaan kehilangan atau
pemisahan serta kecemasan yang menyertainya. Tapi anak-anak tidak memahami
waktu sebagaimana orang dewasa. Bahkan perpisahan yang singkat mungkin dialami
sebagai pepisahan total. Bagi kebanyakan bayi, kedatangan pengasuh kembali akan
memberikan suatu kontinuitas eksistensi dan hal ini akan mereduksi kecemasan.
Kita sangat sedikit mengetahui pengalaman aktual bayi tentang kehilangan
walaupun kehilangan orang tua, terutama jika pengasuh tidak digantikan, yang
dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan bayi. Anak usia 3-5 tahun memiliki
sedikit ide bahkan tidak sama sekali mengenai apa yang dimaksud dengan
kematian. Mereka sering kali bingung antara mati dengan tidur, dan bertanya
dengan keheranan, “Mengapa ini tidak bergerak?” Diusia prasekolah, anak-anak
jarang kaget dengan pemandangan seekor binatang yang mati atau dari cerita
bahwa seseorang telah mati. Mereka percaya bahwa orang yang mati dapat menjadi
hidup kembali secara spontan karena adanya hal yang magis atau dengan memberi
mereka makan atau perawatan medis. Anak-anak sering kali
percaya bahwa hanya orang-orang yang ingin mati, atau mereka yang jahat atau
yang kurang hati-hati, yang benar-benar mati. Mereka mungkin juga menyalahkan
diri mereka dan mengungkapkan alasan yang tidak logis bahwa peristiwa itu
mungkin terjadi karena tidak patuh terhadap orang yang mati. Kadang-kadang
dimasa kanak-kanak tengah dan akhir, konsep yang tidak logis mengenai kematian
yang lambat laun berkembang hingga diperoleh suatu persepsi kematian yang lebih
realistis. Dalam satu penelitian awal mengenai persepsi kematian pada seorang
anak, usia 3-5 tahun menolak adanya kematian. Anak usia 6-9 tahun percaya bahwa
kematian itu ada, tetapi hanya dialami oleh beberapa orang. Dan anak usia 9
tahun keatas akhirnya mengenali kematian dan universalitasnya. Kebanyakan
ahli psikologi percaya bahwa kejujuran merupakan strategi terbaik dalam
mendiskusikan kematian dengan anak-anak. “Mempermalukan” konsep kematian sebagai
hal yang tidak pantas disebutkan, merupakan strategi yang tidak sesuai, walaupun
kebanyakan dari kita masih tumbuh dalam suatu masyarakat dimana kematian sangat
jarang didiskusikan. Dalam suatu penelitian, peneliti berusaha menilai sikap
30.000 orang usia dewasa awal terhadap kematian. Hasilnya,
lebih dari 30% berkata bahwa mereka tidak dapat mengingat kembali diskusi
mengenai kematian selama mereka kanak-kanak; dengan jumlah yang sama, yang lain
mengatakan bahwa, meskipun kematian disiskusikan, namun diskussinya berlangsung
dalam suasana yang tidak nyaman. Hampir setiap 1 dari 2 responden berkata bahwa
kematian kakek atau neneknya merupakan kematian pertama kali yang mereka hadapi.
Namun, setidaknya dengan berkata jujur terhadap anak tentang konsep kematian
ketika anak menghadapi kemtian kakek atau neneknya merupakan suatu upaya
positif untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan yang universal kepada anak
sehingga nantinya ketika ia dewasa, ia akan menerima kodratnya sebagai ciptaan
Tuhan dan harus menghadapi kematian.
Sumber:
Monks,
Knoers,
Haditono (2001). Psikologi
Perkembangan. Yogjakarta: Gajah Mada University Press.
Santrock,
John W (1995). Life Span Development. Jakarta: Erlangga.
Qalbinur. Periodesasi Perkembangan Masa Dewasa Awal. http//qalbinur.wordpress.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar