Perilaku
Koruptif di Indonesia dalam Kacamata Filsafat Manusia
Picture by Google |
Perilaku koruptif di
Indonesia bukanlah suatu fenomena baru, bahkan perilaku koruptif dapat disebut
sebagai suatu budaya yang telah berakar kuat dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Hampir setiap hari berita yang ditayangkan di media televisi, radio,
maupun internet adalah berita tentang korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin
bangsa. Begitu juga dengan berita di Koran, hampir setiap hari kita membaca
kasus korupsi. Kasus korupsi di Indonesia seakan tak ada habisnya, tertangkap
satu orang, muncul seribu nama baru lagi dalam kasus itu. Lalu, apa yang
menyebabkan perilaku koruptif di kalangan pemimpin bangsa? Hal itu, tentunya menimbulkan
banyak keheranan. Pasalnya para pemimpin yang korup, bukanlah orang yang
perpenghasilan rendah. Mereka tidak ada yang hidup susah, semuanya hidup
berkecukupan. Namun, tetap saja mereka mengambil lebih daripada apa yang
menjadi haknya dengan melakukan perilaku koruptif.
Jika dilihat dalam
kajian filsafat manusia, perilaku koruptif yang dilakukan oleh pemimpin bangsa
ini merupakan akibat dari mereka mengobjekkan dirinya, artinya mereka yang
melakukan korupsi hanya berorientasi pada dirinya sendiri untuk pemenuhan
segala kebutuhannya sendiri dan didukung oleh kebutuhan manusia yang tak ada
batasnya, maka mereka tak akan pernah puas dan akan terus berusaha memenuhi
kebutuhannya lagi dan lagi. Misalnya dalam hal kekayaan materi, meskipun para
pejabat telah memiliki rumah mewah dan mobil mewah, mereka ingin memiliki lebih
dari yang mereka miliki sekarang. Para pemimpin yang demikian hanya menilai
dirinya berdasarkan harta benda yang dimiliki dan menganggap semua bawahannya
(rakyatnya) bukanlah apa-apa dan yang ada dan berhak untuk mendapatkan
kemakmuran adalah diri sendiri. Hal itu senada dengan pendapat dari seorang
filsuf barat yaitu Emmanuel Levinas yang menyebutkan bahwa, “ aku” (ego)
mendapat prioritas utama. Prioritas itu mengaburkan, bahkan meniadakan
segi-segi penting lainnya dari “yang lain”. Kesadaran akan “aku hanya
memasukkan “yang lain” ke dalam si “aku”. “Yang lain” hanya merupakan bagian
dari si “aku” dan yang ada sebenarnya hanyalah si “aku” saja. Berdasarkan
pendapat dari Levinas, korupsi adalah tindakkan yang tidak menganggap manusia
lainnya sebagai manusia, mungkin dianggap lebih rendah dari manusia ataupun
dianggap tidak ada sama sekali.
Pemimpin bangsa yang
korup tidak menganggap rakyatnya sebagai manusia atau sebagai orang-orang yang
harus disejahterakan, karena itulah banyak pemimpin/petinggi-petinggi
pemerintahan yang mengkorupsi dana tunjangan kesehatan warga miskin, padahal
diluar sana banyak warga miskin yang tak mendapatkan fasilitas kesehatan yang
layak bahkan banyak yang meninggal sebelum sempat mendapat pertolongan. Ketika
hal tersebut terjadi, sesungguhnya korupsi merupakan perilaku yang sama dengan
membunuh, bahkan lebih kejam karena membunuh secara perlahan-lahan sekian
banyak orang yang menjadi rakyatnya.
Perlu ditekankan pula,
pandangan ilmu subjek dan ilmu objek yang menyatakan bahwa, “orang yang
mengobjekkan dirinya sendiri tidak akan bisa mengsubjekkan orang lain.” Hal itu
sama dengan pemimpin yang mengobjekkan dirinya sendiri tentunya tak akan bisa
mengsubjekkan rakyatnya. Akibatnya, pemimpin yang demikian tidaklah peka
melihat kondisi rakyatnya. Pemimpin yang kurang peka dikatakan tak memiliki
empati, karena tak pernah mau mendengar aspirasi rakyatnya. Dengan demikian,
faktor lain yang menyebabkan perilaku koruptif di kalangan pemimpin adalah
bahwa ia tidak mampu membangun hubungan dengan rakyatnya. Menurut pendapat dari
Martin Buber, yang menyatakan bahwa titik pangkal hubungan dengan orang lain
adalah dua kata dasar “aku-engkau” dan “aku-itu”. Konsep itu adalah konsep tentang
rasa empati. Pemimpin yang mampu mengembangkan rasa empatinya akan mampu
membangun hubungan yang baik dengan rakyatnya dan akan lebih memiliki
kematangan moral untuk tidak korupsi karena jika ia korup, maka rakyatnya akan
menderita. Pemimpin yang demikian, merupakan pemimpin yang sadar akan
eksistensinya sebagai seorang pemimpin yang diperlukan oleh rakyatnya.
Sayangnya, untuk Indonesia pemimpin yang memiliki empati masih jarang adanya.
Kemudian, berbicara
mengenai perilaku koruptif para pemimpin bangsa dan elite politik, perilaku
tersebut tidak muncul begitu saja. Perilaku tersebut biasanya sudah diproduksi
semenjak mahasiswa. Secara tidak sadar, korupsi telah dipelajari semenjak
mahasiswa. Korupsi juga dipelajari di organisasi-organisasi kemahasiswaan.
Kebiasaan korupsi itu dibentuk oleh praktik sosial yang terus berulang. Proses
perulangannya dimulai ketika masih mahasiswa. Sebagai contoh ketika mahasiswa
menjadi aktivis dan ketika akan mengadakan demonstrasi biasanya ada aksi
penggalangan dana dengan meminta sumbangan dan dana sponsor. Namun, setelah itu
pertanggungjawaban dana yang didapatkan tidak dilakukan. Dalam hal ini,
mahasiswa tidak dilatih untuk bersikap akuntable dan transparan dalam setiap
kegiatan mahasiswa yang menggunakan anggaran. Padahal, yang dituntut untuk
akuntable dan transparan tidak hanya lembaga-lembaga negara, tetapi juga
masyarakat. Akibat tidak jelasnya sistem pengajuan anggaran dalam pengadaan
kegiatan mahasiswa, hal itu secara tak sadar telah melatih mahasiswa untuk mengobjekkan
dirinya sendiri demi mendapatkan dana kegiatan, seperti memanipulasi anggaran
atau tak mengeluarkan laporan pertanggungjawaban, bahkan pemalsuan tanda tangan
di proposal kegiatan. Segala upaya yang tak halal dilakukan hanya agar dana
kegiatan itu bisa diperoleh. Hal ini juga merupakan hakikat manusia yang
disampaikan oleh Karl Marx yaitu manusia adalah makhluk ekonomi, mereka akan
melakukan apa saja demi keuntungannya dan agar tujuannya tercapai, pandangan
ini menitiberatkan pada pandangan materialisme.
Contoh lainnya adalah
mahasiswa sewaktu menjadi aktivis dan mengadakan kegiatan cenderung mengabaikan
kuliahnya agar kegiatan berjalan dengan lancar. Tak heran jaman sekarang banyak
aktivis yang membolos saat jam kuliah demi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
kemahasiswaan. Hal itu berarti, mereka mengobjekkan dirinya sendiri dengan
mengabaikan tugas utamanya sebagai seorang mahasiswa yaitu menuntut ilmu.
Mahasiswa yang demikian adanya telah menerapkan perilaku koruptif dalam hal
waktu dan biaya kuliah yang dibayarkan oleh kedua orang tuanya setiap semester.
Cara mahasiswa bertindak yang seperti itulah yang sebenarnya telah termasuk
dalam perilaku koruptif. Inilah mengapa mengapa banyak aktivis yang terjebak
kasus korupsi ketika menjadi pejabat negara ataupun elite politik. Ketika masih
menjadi aktivis mahasiswa, mereka berbondong-bondong turun ke jalan memprotes
aksi korupsi yang dilakukan para pejabat dengan mengabaikan kewajibannya
sebagai mahasiswa yaitu menuntut ilmu, dan ketika menjadi orang-orang yang
berkedudukan, mereka malah akan berbondong-bondong korupsi, bukankah seperti
“maling teriak maling.”
Jadi, kesimpulan yang
dapat saya sampaikan adalah bahwa sejatinya mental koruptor dan perilaku
koruptif telah dipelajari semenjak di bangku pendidikan, ya katakanlah
mahasiswa sehingga ketika mahasiswa yang notabene merupakan “Iron Stock”
(generasi penerus roda kepemimpinan) telah memiliki mental dan perilaku
koruptif, maka kaus korupsi di Indonesia tetap tak akan ada habisnya. Kemudian
yang bisa saya sarankan adalah agar untuk menyikapi kasus korupsi sebaiknya
teman-teman mahasiswa memilih jalur yang lebih kritis seperti menulis tajuk
tentang korusi dan mempublikasikannya di media cetak seperti koran dan rajin
mengikuti perkuliahan disamping mengikuti organisasi kemahasiswaan, mengikuti
organisasi kemahasiswaan memang hal yang bagus, namun bila itu sampai
meninggalkan kuliah, tentu tak sebagus kelihatannya. Saran untuk dunia
pendidikan adalah ada baiknya bila mahasiswaa dan pelajar diajarkan untuk akutable
dalam setiap kegiatannya yang memerlukan dana dan aturan untuk itu dipertegas
kembali, yang terakhir saran untuk aparat penegak hukum agar hukuman untuk para
koruptor dipertegas, kalau perlu berikan hukuman mati seperti menghukum para
teroris karena sesungguhnya koruptor dan teroris sama-sama mengancap kehidupan
banyak orang. Jika aksi terorisme yang dalam peladakkan bom dapat membunuh
nyawa sekian orang dengan seketika, maka koruptor mungkin dapat dikatakan lebih
kejam, mereka dapat membunuh nyawa seluruh penduduk Indonesia secara perlahan
dan pasti dengan sisksaan di berbagai bidang kehidupan.
Akhir kata, jadilah
generasi yang jujur dan berintegritas! Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar