BABIES:
KETIKA IBU DAN BAYI BERKOMUNIKASI
(SEBUAH
REVIEW DAN KETERKAITAN ANTARA TRANSMISI BUDAYA DALAM PERKEMBANGAN BAHASA PADA
ANAK)
Film “Babies”
menceritakan tentang perkembangan bayi yang baru lahir di empat tempat berbeda
dan dengan dua budaya yang berbeda, yaitu budaya masyarakat industrial-modern
di Tokyo, Jepang dan San Fransisco, Amerika Serikat dengan masyarakat agrikultur-tradisional
di Namibia, Afrika dan Mongolia. Selain itu, dalam film juga diperlihatkan
bagaimana parenting etnotheory
berperan mulai dari proses kehamilan hingga kelahiran. Di Afrika, pada suku
Namibia, ketika seorang perempuan hamil mendekati masa kelahiran, perutnya
diusap dengan bubuk berwarna merah (menurut saya mungkin terbuat dari tanah
merah yang dihaluskan) dan dicampur dengan minyak khas dari suku tersebut.
Mungkin hal tersebut dapat membantu proses kelahiran atau berguna bagi
perkembangan bayi nantinya. Di Mongolia, seorang ibu mengusap-usap perut menjelang
kelahiran bayinya dan diberika senam dengan iringan musik lembut di klinik guna
membantu proses persalinan. Di Jepang dan Amerika Serikat, tidak ada treatmen
yang khusus diperlihatkan menjelang kelahiran bayi. Hanya saja di Jepang
diperlihatkan bahwa orangtua (ayah dan ibu) bercakap-cakap dan ayah membuat ibu
tertawa sambil si ayah tadi belajar bagaimana cara menggendong bayinya, saya
rasa apa yang mereka lakukan merupakan hal yang positif menjelang kelahiran
bayi pertama.
Perlakuan yang berbeda
juga didapatkan oleh bayi ketika bayi tersebut baru lahir. Di Afrika, bayi yang
baru lahir dalam kondisi tradisional, dipegang oleh ibunya kemudian
dilayang-layangkan di udara dengan posisi ibu masih berbaring dan menatap
langsung ke wajah bayi. Setelah itu, bayi Afrika tersebut disusui oleh ibunya,
saya menganggap bahwa hal ini merupakan perilaku ibu untuk berusaha membuat
nyaman bayinya. Bayi yang baru lahir harus dibuat nyaman dengan didekatkan
dengan ibunya karena akan berpengaruh terhadap tangisan bayi (Santrock, 2010). Bayi
Mongolia yang baru lahir diletakkan tepat di samping ibunya dalam satu ruangan
yang sama di klinik bersalin, hal ini berkaitan dengan perawatan pascalahir
yang disampaikan Elizabeth B. Hurlock (1999), meletakkan tempat tidur bayi di
sebelah tempat tidur ibu sehingga ibu dapat memenuhi kebutuhan perawatan
bayinya merupakan hal yang sangat penting dalam menangani masalah tangisan pada
bayi. Hasil penelitian M. Greenberg, I. Rosenberg, dan J. Lind (dalam Hurlock,
1999) menunjukkan bahwa ibu yang memiliki pengalaman sekamar dengan bayinya di
rumah sakit lebih mampu menafsirkan arti tangis bayi dibandingkan ibu yang
dirawat terpisah dengan bayinya. Lebih jauh, saya berpendapat bahwa ketika ibu
mampu memahami arti tangis dari bayinya, hal tersebut merupakan modal dasar
untuk membuka komunikasi yang lebih luas dengan bayi, bahkan mampu dijadikan
dasar untuk melatih kemampuan berbahasa anak di kemudian hari. Sedangkan di
Jepang, bayi yang baru lahir, kedua telapak kakinya ditulis karakter kanji
(huruf Jepang) dengan tinta merah oleh ayahnya, hal ini mungkin termasuk suatu
budaya di Jepang dan saya rasa menuliskan karakter kanji pada telapak kaki bayi
yang baru lahir merupakan simbolisasi dari parenting
etnotheory ketika bayi lahir. Di San Fransisco, bayi yang baru lahir
dibantu dengan peralatan medis guna memantau kondisi fisik dari bayi tersebut,
selanjutnya bayi di San Fransisco digendong sambil ditatap wajahnya oleh orang
yang menggendong, mungkin ibunya atau perawat di rumah sakit. Namun, hal yang
menarik perhatian saya pada bayi di San Fransisco adalah ketika bayi digendong
dan wajahnya ditatap, bayi tersebut seakan tersenyum yang mengindikasikan bahwa
bayi merasa nyaman dalam gendongan. Menurut Jovita Maria Ferliana, psikolog
anak dan keluarga dari Rumah Sakit Royal Taruma, Jakarta, seperti yang dikutip
dalam majalah Parents Indonesia Edisi Oktober 2014, menyatakan bayi seringkali
tersenyum ketika berbaring atau dalam tidurnya, ini menandakan bahwa ia merasa
cukup nyaman dengan lingkungan sekitarnya. Jovita juga menambahkan apabila bayi
merasa nyaman dalam gendongan ibu atau orang terdekatnya maka hal tersebut akan
menjadi modal bagi bayi untuk merespon suara dari ibu maupun orang lain, dan
sekaligus menjadi dasar untuk perkembangan kemampuan berbahasa.
Selanjutnya, film
“Babies” menampilkan tentang perawatan dan pengasuhan yang diberikan pada bayi
di lingkungan dan budaya masing-masing dari empat tempat yang berbeda. Bayi
Jepang, yang bernama Mari, didudukan diatas selimut dan ditepuk-tebuk
punggungnya oleh ibu, serta disana juga ada ayah yang menemani. Saya rasa hal
tersebut mungkin dilakukan untuk menghilangkan cegukan Mari yang pada scene sebelumnya telah disusui oleh
ibunya. Kedekatan yang ditunjukkan oleh keluarga Mari merupakan suatu hal
positif dalam membangun kedekatan antara orangtua, khususnya ibu dengan bayi.
Elianor E. Maccoby dan John A. Martin (1976) mengatakan bahwa periode awal
ketika bayi baru lahir merupakan suatu periode kritis untuk membangun kedekatan
antara orangtua dengan bayi hal ini terutama dapat terwujud dengan adanya
sentuhan-sentuhan lembut yang diberikan oleh orangtua untuk membuat nyaman
bayinya. Berkaitan dengan pendapat dari
Elianor E. Maccoby dan John A. Martin (1976) maka, perilaku ibu Mari
yang menepuk-nepuk punggung Mari dengan lembut untuk menghilangkan cegukannya
dapat dikatakan sebagai suatu usaha untuk membuat nyaman Mari, sehingga
nantinya rasa nyaman ini akan membuat Mari lebih merespon terhadap
sekelilingnya. Sementara itu, bayi Mongol, yang bernama Bayar, diajak bicara
oleh ibunya dalam bahasa lokal dengan nada yang khas sambil manatap Bayar yang
terbaring di tempat tidur, dan sepertinya Bayar seakan-akan merespon perkataan
ibunya melalui bahasanya sendiri, yaitu “bahasa bayi”. Saya sangat menyukai
metode berbicara kepada bayi seperti yang dilakukan ibu Bayar, karena menurut
psikolog anak dan keluarga, Jovita Maria Ferliana (seperti yang ditulis dalam Parents
Indonesia Edisi Oktober 2014), bayi memang sudah bisa mengaitkan apa yang
didengarnya dengan apa yang harus dilakukan dengan mulutnya. Cara ibu berbicara
kepada bayi dengan penuh irama (motherese
atau cara bicara ibu yang khas kepada bayinya) akan membuat bayi terpaku
melihat wajah ibu dan dia mulai memahami arti kata-kata dan kalimat yang
diucapkan ibunya. Sedangkan, bayi Afrika, yang bernama Ponijao disusui oleh
ibunya sambil si ibu bercakap-cakap dan makan dengan ibu lain yang juga menyusui
bayinya. Seperti disampaikan oleh Jovita, menurut saya posisi ketika bayi
menikmati asi dari ibu merupakan posisi yang nyaman bagi bayi sehingga ketika
perasaan nyaman itu dipadukan dengan obrolan ringan dari ibu dengan orang lain
disekitarnya, maka bayi juga mendengar dan menangkap kata-kata yang diucapkan
oleh ibunya, hal ini berarti bayi juga telah mendapatkan modal bahasa untuk dikembangkan.
Ketika Ponijao buang air, ibunya dengan mudahnya membersihkan pantat Ponijoe
dengan menggosokkannya ke lutut si ibu lalu baru dibersihkan. Saya rasa hal
tersebut mungkin termasuk kedalam etno
parenting dari suku Namibia, Afrika untuk menumbuhkan kelekatan antara ibu
dengan bayi. Kemudian di belahan bumi lain tampak pemandangan yang sangat jauh
berbeda dengan yang ada di Afrika, bayi Amerika yang bernama Hatie, dipangku
dan dibacakan buku anak-anak oleh ibunya. Ketika Hatie dimandikan pun, ibunya
tetap berbicara dengan nada lembut dan juga menatap wajah Hatie sambil kedua
lengannya disatukan dan mengapung-ngapungkan badan Hatie di air. Menurut John
W. Santrock (2010), kebiasaan ibu mengapung-ngapungkan bayi dengan kedua tangan
saat memandikan bayi dapat membuat bayi merasa nyaman seperti ketika berada
dalam kandungan sehingga bayi akan lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan di
luar rahim dan mampu menjalin kedekatan emosi antara bayi dengan ibu. Adanya
kebiasaan berupa motherese (ketika
ibu berbicara dengan lembut kepada Hatie selagi memandikannya) yang dilakukan
oleh ibu Hatie menunjukkan adanya kesamaan cara menstimulasi perkembangan
komunikasi bayi dengan yang dilakukan oleh ibu Bayar di Mongolia.
Saya juga merasa ada
keunikan tersendiri ketika bayi-bayi dari empat tempat berbeda dengan latar
belakang budaya yang berbeda melakukan interaksi dengan lingkungannya. Di
Afrika, bayi yang bernama Ponijao lebih leluasa untuk berinteraksi dengan
lingkungannya karena Ponijao dibiarkan dengan bebas mengeksplorasi, menjelajah
area sekitar, bahkan hingga memasukan benda-benda yang ia temui di tanah ke
dalam mulut. Namun, di sisi lain, Ponijao juga sering digendong di punggung
oleh ibunya ketika melakukan suatu pekerjaan dan sering terjadi interaksi
antara Ponijao dengan si ibu. Hal yang menarik adalah ketika Ponijao berusaha
mengikuti irama yang diucapkan ibunya (melakukan imitasi), saya rasa irama
tersebut merupakan salah satu bentuk interaksi yang dapat mengawali proses perkembangan
bahasa. Hal lain yang menarik adalah ketika Ponijau diajarkan berbicara oleh
ibunya dengan mengucapkan kata “mama...”, Ponijao menjawab dengan melakukan babbling (celoteh), yaitu membuat suara
yang serupa dengan ibunya, meskipun tidak begitu tepat. Babbling (celoteh) biasanya dilakukan oleh bayi yang berusia 6-7
minggu, bayi mulai membuat suara dalam kondisi nyaman dan secara tidak langsung
dengan babbling bayi melatih
kematangan organ artikulasinya (Jovita dalam Parents Indonesia, 2014). Jadi
dapat dikatakan bahwa ketika babbling,
Ponijao juga mengungkapkan perasaan nyamannya saat bersama ibu. Kemudian, bayi
Mongolia, Bayar, lebih sering ditinggal di tempat tidur ketika ibunya sedang
sibuk. Ketika bisa merangkak, Bayar juga lebih sering bermain di sekitar rumah,
meski sekali ditayangkan bahwa orangtua Bayar pernah mengajaknya menghadiri
suatu acara tetapi, secara keseluruhan Bayar lebih sering menghabiskan waktunya
di rumah, untuk interasinya sendiri, Bayar hanya berinteraksi dengan orangtua
dan kakaknya. Saya menangkap bahwa mungkin kemampuan anak untuk bersosialisasi
dengan orang lain (selain keluarga) bukanlah menjadi fokus utama dalam
masyarakat Mongolia, sehingga Bayar memang lebih sering dibiarkan berada di
rumah oleh orangtuanya atau mungkin karena masalah geografis dimana dataran
tinggi Mongolia dikelilingin oleh bukit-bukit dan jalanan yang landai sehingga
orangtua Bayar jarang mengajaknya bepergian. Pada sisi lain, menurut saya
masyarakat Mongolia memang memberi fokus pada perkembangan psikomotorik dari
anak, ditunjukkan ketika Bayar dibiarkan dengan bebas merangkak menjelajahi
halaman rumah dan berkotor-kotoran, hingga dibiarkan tertidur disebelah
hewan-hewan ternak. Penekanan pada perkembangan motorik ini juga saya lihat
terjadi pada Ponijao di Afrika, jadi mungkin memang ada kesamaan antara
penekanan proses perkembangan pada individu antara suku Namibia di Afrika
dengan suku Mongolia yang notabene merupakan
masyarakat agrikultur. Pada masyarakat modern di Jepang, Mari, sering
menghabiskan waktu dengan jalan-jalan dan bepergian bersama ibunya seperti
mengikuti kegiatan bermain dengan ibu-ibu dan bayi-bayi lain dan ketika ibunya
sedang sibuk, Mari dititipkan di tempat penitipan bayi. Bagi saya kegiatan Mari
bersama ibunya sangat berperan dalam perkembangan sosialisasi di masa depan,
karena dengan mengikuti kegiatan bersama dengan ibunya dan bayi-bayi lain, Mari
akan memiliki banyak kesempatan untuk bertemu dan mengenal teman sebayanya dan
hal tersebut akan menguatkan motivasi Mari untuk belajar bicara pada usia
sekitar 18 bulan nantinya. Pendapat yang saya sampaikan ini juga didukung oleh
adanya teori mengenai kondisi yang menimbulkan perbedaan dalam belajar bicara
yang disampaikan oleh Elizabeth B. Hurlock (1999), salah satu faktor yang
mendorong motivasi untuk belajar bicara pada anak adalah adanya hubungan dengan
teman sebaya. Dikatakan bahwa semakin banyak hubungan anak dengan teman
sebayanya maka akan semakin besar keinginan anak untuk diterima sebagai anggota
kelompok sebaya dan akan semakin menguatkan motivasi anak untuk belajar bicara.
Pada perkembangan bicara Mari, menurut saya ibu Mari telah memfasilitasi
hubungan teman sebaya yang luas dengan kegiatan-kegiatan kelompok yang
dilakukan bersama. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Amerika, Hatie,
semenjak dini telah ditanamkan kebiasaan membaca oleh orangtuanya. Ibu dan ayah
Hatie sering membacakan Hatie buku anak-anak, hal ini diperlihatkan pada scene ketika ibu Hatie membacakan buku
cerita bergambar sambil menempatkan Hatie di pangkuannya dan scene ketika ayah Hatie membacakan buku
tentang hewan kepada Hatie di tempat tidur lalu ayah dan ibu Hatie meniru
gerakan gajah untuk mengenalkan hewan tersebut kepada Hatie. Hatie dan ibunya
juga mengunjungi tempat bermain untuk melatih gerakan-gerakan otot Hatie dan
juga bernyanyi suatu nyanyian bersama dengan ibunya. Perilaku ibu-ibu di
masyarakat industrial-modern yang sering mengajak bayinya jalan-jalan keluar
rumah dan mengikuti berbagai kegiatan dengan teman sebaya seperti yang
dilakukan oleh ibu Mari dan ibu Hatie ternyata merupakan salah satu cara
memberikan stimulasi agar bayi memiliki kemapanan dalam berkomunikasi dan akan
berdampak positif dalam mempercepat perkembangan bahasanya, seperti yang
disampaikan oleh Dr. Elisabeth Hutapea, SpA dan Jovita Maria Ferliana, M.Psi dalam
Parents Indonesia Edisi Oktober 2014 yang menyatakan ada beberapa cara yang
dapat dilakukan orangtua untuk menstimulasi perkembangan komunikasi bayi, salah
satunya adalah mengajak bayi jalan-jalan keluar rumah, karena dengan pergi
jalan-jalan keluar rumah, bayi akan bertemu dengan hal-hal baru bahkan
orang-orang baru dan memperoleh kosakata baru dari apa yang didengarnya.
Orangtua juga dapat mengajarkan kosakata baru berkaitan dengan hal-hal yang
dilihat bayi ketika jalan-jalan.
Berdasarkan paparan
mengenai review film “Babies”, saya dapat menyimpulkan bahwa keterkaitan mendasar
antara interaksi orangtua khususnya ibu, dengan bayinya dalam budaya apapun,
merupakan suatu upaya dalam melakukan transmisi kebudayaan pada anak. Interaksi
yang saya maksud adalah interaksi yang berkaitan dengan komunikasi ibu dengan
bayi yang meliputi motherese (cara
berbicara ibu yang khas kepada bayinya), reflective
vocalization (tangisan dan senyuman bayi), babbling (celoteh atau bayi mulai membuat suara-suara), dan aktivitas
bersama yang dilakukan oleh ibu dengan bayinya. Komunikasi antara ibu dengan
bayi akan menjadi modal awal bayi untuk memulai perkembangan bahasanya ketika
memasuki usia 18 hingga 24 bulan yang merupakan tahap awal perkembangan bahasa
(Santrock, 2010). Alasan saya memberikan penekanan terhadap perkembangan bahasa
karena selain merupakan bentuk budaya, bahasa juga berperan dalam mentransmisikan
bentuk-bentuk kebudayaan lain kepada anak melalui proses sosialisasi dan enkulturasi,
pendapat saya ini diperkuat oleh Ernst Cassirer (dalam Sarlito, 2014) yang
menyatakan bahwa bahasa menciptakan budaya dan budaya mempengaruhi bahasa,
lebih lanjut Matsumoto dan Juang (dalam Sarlito, 2014) mengatakan bahwa
hubungan timbal-balik antara budaya dan bahasa menunjukkan bahwa tidak ada
satupun budaya yang dapat dipahami tanpa memahami bahasanya, begitu pula
sebaliknya. Jadi, dapat dikatakan bahwa mengoptimalkan perkembangan bahasa pada
anak merupakan salah satu tahapan awal untuk menanamkan kebudayaan.
DAFTAR
REFERENSI
Berry, John W., et al. (2002). Cross Cultural Psychology: Research and Applications, Second Edition.
England: Cambridge University Press
Hurlock, Elizabeth B. (1999). Perkembangan Anak Jilid 1. Diterjemahkan oleh: Meitasari Tjandrasa
dan Muslichah Zarkasih. Jakarta: Erlangga.
Jovita Maria Ferliana dan Elisabeth Hutapea seperti
yang ditulis dalam ___.(2014). Saat Bayi
Berkomunikasi. Parents Indonesia Edisi Oktober 2014.
Maccoby,
Elianor E. and Martin, John A. (1976). Handbook
of Child Psychology Volume IV. New York: John Wiley & Sons.
M. Greenberg, I. Rosenberg, and J. Lind seperti yang dikutip dalam Hurlock, Elizabeth B.
(1999). Perkembangan Anak Jilid 1. Diterjemahkan
oleh: Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih. Jakarta: Erlangga.
Santrock, John W. (2010). Life-Span Development, Thirteenth Edition. Dallas: McGraw Hill.
Sarlito W. Sarwono. (2014). Psikologi Lintas Budaya. Jakarta: Rajawali Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar