Jumat, 22 Februari 2013

Psikologi Kultus (Bela Negara)


Psikologi Kultus
(Pancasila sebagai Bentuk Perlawanan terhadap Kultus Terorisme yang Berkembang di Indonesia)

1.        Pengertian Kultus
Kultus (cults) yang oleh para ilmuan disebut sebagai pergerakan religius baru mendapatkan banyak sorotan. Kultus merupakan suatu bentuk dari persuasi yang ektrim, yaitu suatu pemujaan terhadap kepribadian. Kultus muncul ketika seseorang menggunakan media massa, propaganda, atau metode lain untuk menciptakan figur ideal atau pahlawan dan seringkali ditemukan adanya pujian yang berlebihan pada seorang tokoh yang dikultuskan. Di Indonesia kultus digunakan untuk perekrutan anggota terorisme yang mengatas namakan agama. Padahal yang sebenarnya adalah kultus terorisme yang berkembang di Indonesia merupakan suatu pergerakan keyakinan baru yang cenderung menyimpang dari ajaran dan kaidah yang telah ada sebelumnya.
Kultus destruktif merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut suatu metode yang diterapkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk melakukan perekrutan dengan penipuan dan kontrol pikiran dalam mengindoktrinisasi pengikutnya. Sebagai contohnya adalah Osama bin Laden dan grup Al-Qaedanya merupakan grup kultus destruktif yang menggunakan seluruh teknik kontrol pikiran klasik dalam metode pelatihannya. Pelaku bom bunuh diri menjalani proses indoktrinasi yang luas dan menyeluruh, dilaporkan mereka menjalani berjam-jam dalam peti mati sambil membaca ayat-ayat suci di kuburan umum setempat. Para pelaku bom tersebut diberitahukan bahwa mereka sudah mati dan akan dipuji di surga untuk perbuatan kepahlawanannya. Seperti anggota kultus destruktif lainnya, para pengikutnya diprogram untuk berpikir dalam terminologi sederhana hitam dan putih. Selain itu mereka diajarkan untuk merendahkan setiap yang menjadi musuh mereka dan mengutuknya.
Penggunaan kultus destruktif seringkali dikaitkan dengan agama, namun yang sebenarnya agama hanyalah ibaratkan jubah atau topeng yang dijadikan kedok oleh organisasi-organisasi kultus untuk merekrut dan memperdaya pengikutnya. Metode yang paling umum digunakan adalah menafsirkan dan memanipulasi ayat-ayat suci sesuai kepentingan grupnya.


2.        Psikologi Kultus
Psikologi kultus yang dimaksud adalah berkaitan erat dengan psikologi sosial kemasyarakatan. Psikologi kultus mengkaji tentang situasi-situasi manusia, khususnya bagaimana manusia memandang dan mempengaruhi satu sama lain. Dalam kultus destruktif, seringkali dijumpai adanya suatu “pergerakan sosial”, yaitu perilaku dalam masyarakat juga memiliki pengaruh kuat terhadap sikap rasial di dalam masyarakat tersebut. Terdapat suatu bahaya di balik kemungkinan memberlakukan ide yang sama untuk penyosialisasian politik dalam skala besar. Misalnya bila kita menengok kembali kepada pergerakan Nazi di Jerman. Bagi banyak warga Jerman pada tahun 1930-an, partisipasi dalam gerakan Nazi, memperlihatkan bendera Nazi, dan terutama sapaan umum “Hell Hitler” membangun suatu ketidakkonsistenan yang jelas antara perilaku dan kepercayaan. Bagi mereka yang memiliki keraguan teradap Hitler, “sapaan umum Jerman” itu merupakan suatu alat pengondisian yang kuat. Setelah memilih melagukan sapaan itu sebagai suatu cara untuk mencapai konformitas, banyak orang merasa tidak nyaman karena adanya kontradiksi antara kata-kata dan apa yang mereka rasakan. Untuk menghindari mengatakan apa yang mereka percayai, mereka berusaha untuk membangun keseimbangan psikis mereka dengan secara sadar membuat diri mereka percaya pada apa yang telah mereka katakan (Richard Grunberger, dalam Myers, 2012). Praktik itu tidak terbatas pada rezim totaliter. Kultus terorisme yang mulai masuk dan berkembang di Indonesia pada saat ini juga memanfaatkan konformitas publik untuk membangun suatu kepercayaan pribadi yang diatur oleh organisasi dalam hal patriotisme.
Asumsi bahwa indoktrinasi sosial yang paling kuat datang melalui “pencucian otak”, suatu istilah yang pertama kali digunakan untuk menggambarkan apa yang terjadi pada tahanan perang Amerika pada saat perang Korea tahun 1950. Perubahan sikap dan kepribadian yang drastis dari para penganut kultus, menggambarkan hal yang serupa. Namun, banyak orang yang beranggapan bahwa para pengikut kultus mengalami perubahan sikap ke arah yang negatif, kenyataannya para penganut kultus yang telah mendapatkan indoktrinisasi dalam waktu yang lama malah memiliki kualitas hidup yang jauh lebih tinggi daripada orang-orang kebanyakan. Sebagai contoh di tahun 1997 muncul aliran kultus yang disebut dengan “the Order of the Solar Temple” yang melarang anggotanya untuk minum minuman beralkohol, dan mewajibkan mereka untuk mengubah pola hidup mereka menjadi vegetarian, serta mengajarkan untuk bersedekah kepada orang miskin. Dengan kualitas hidup yang tinggi seperti itu, tak seorang pun yang akan menyangka bahwa lima orang anggota terakhir dari 74 anggota aliran kultus tersebut adalah pelaku bom bunuh diri di sebuah penginapan St. Casimir, Kanada. Pada saat yang bersamaan, bom bunuh diri juga terjadi di Swiss dan Perancis. Pelakunya masih sama, orang-orang yang ada kaitannya dengan “the Order of the Solar Temple”.
Mungkin muncul pertanyaan di benak kita. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Persuasi seperti apakah yang dapat membuat seseorang atau bahkan sekelompok orang sedemikian patuhnya? Apakah kita dapat membuat penjelasan disposisional dengan menyalahkan korban? Dapatkan kita mengabaikan mereka karena mereka mudah ditipu dan dalam kondisi yang tidak seimbang? Tentu ada cara untuk mengatasi semuanya itu. Dalam psikologi umum, seseorang biasanya meninternalisasi komitmen yang dibuat secara sukarela di depan umum dan diulang-ulang. Nampaknya, para pemimpin kultus mengetahui hal itu.
Seseorang yang baru saja masuk dalam sebuah gerakan akan segera belajar bahwa keanggotaannya bukanlah hal yang main-main. Mereka segera saja akan menjadi anggota yang aktif. Ritual yang dilakukan, rekruitmen anggota, dan penggalangan dana akan menguatkan identitasnya sebagai anggota. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan dalam percobaan psikologi sosial, seorang akan mempercayai apa yang ia saksikan (Aronson & Mills dalam Myers, 2012), dengan demikian maka para anggota baru kultus tadi akhirnya menjadi pendukung yang kuat bagi pemimpin kultus tersebut.
Bagaimana seseorang didorong untuk membuat komitmen pada hal-hal yang mengubah hidup mereka secara drastis? Jarang sekali hal tersebut terjadi secara mendadak, melainkan dilakukan dengan keputusan yang disadari sepenuhnya. Seseorang bukan hanya memutuskan, “saya sudah pernah menjadi pemeluk agama yang besar. Sekarang saya akan mencari kepercayaan pada sekte yang baru”. Disisi lain, pihak yang berusaha mendapatkan pengikut juga tidak sembarangan untuk mengajak orang. Strategi untuk mendapatkan anggota baru sering kali menggunakan prinsip “the foot in the door”. Pihak yang mencari pengikut akan dengan sengaja mengundang calon anggotanya dalam sebuah acara, misalnya jamuan makan malam, atau mengundangnya bergabung dalam kelompok akhir pekan yang menyenangkan dan melibatkan calon anggotanya dalam diskusi filosofi hidup. Ketika retret akhir pekan mereka akan semakin melibatkan calon anggota dalam berbagai aktivitas bersama. Calon anggota yang potensial akan diminta untuk mengikuti retret yang lebih panjang. Pola perekrutan ini dimulai dari hal yang sederhana dan secara bertahap sampai pada hal yang sulit. Pada puncaknya, calon anggota atau telah menjadi anggota akan diminta untuk mengajak dan berusaha membuat orang lain mengikuti keyakinan gerakan tersebut.
Sebuah kultus yang sukses biasanya mempunyai pemimpin yang berkharisma, seseorang yang menarik dan dapat mengarahkan anggotanya. Dalam sebuah eksperimen tentang persuasi, seorang komunikator yang kredibel adalah seorang yang dianggap ahli dan dapat dipercaya oleh pendengar, sebagai contoh Osama bin Laden. Osama bin Laden memperoleh kepercayaan dari pengikutnya karena ia dianggap pahlawan oleh banyak pemuda di Arab setelah perang antara Afganistan dan Uni Soviet berakhir. Selain dikenal karena reputasi yang dimilikinya, Osama juga seorang yang ahli dalam bidang manajemen, ia lulusan dari Universitas King Abdul Aziz di Jeddah. Selain itu Osama juga piawai dalam menafsirkan ayat-ayat suci. Semua hal tersebut merupakan daya tariknya dalam membangun suatu gerakan kultus. Dengan reputasi dan keahliannya itu, dengan cepat ia memperoleh kontak serta koneksi, bahkan kepercayaan dari orang-orang yang tergabung dalam kelompok Al-Qaeda yang dibetuknya.
Kepercayaan adalah aspek lain dari kredibilitas. Peneliti kultisme Margaret Singer mencatat bahwa kaum pemuda dari golongan ekonomi menengah lebih mudah dipengaruhi dalam rekrutmen karena mereka mudah percaya. Mereka tidak mempunyai “kecerdasan jalanan” seperti kaum pemuda dari golongan ekonomi kelas bawah dan kewaspadaan dari kaum pemuda golongan ekonomi kelas atas yang senantiasa diperingatkan tentang penculikan sejak masih kecil. Kebanyakan anggota pergerakan kultus direkrut oleh teman atau kerabat, serta orang yang mereka percayai (Singer dalam Myers, 2012).
Selain memanfaatkan aspek kepercayaan, pesan dalam suatu pengkultusan adalah salah satu dari daya tarik yang digunakan gerakan kultus dalam rekrutmen anggotanya. Sesuatu yang jelas, pesan yang emosional, kehangatan, dan penerimaan yang diberikan oleh kelompok gerakan kultus pada orang yang kesepian dan tertekan dapat menjadi terpikat. Perekrutan sering dilakukan pada pemuda di bawah usia 25 tahun, masih dalam tahapan usia yang terbuka sebelum menstabilkan sikap dan nilai.

3.        Kultus Terorisme di Indonesia
Kultus terorisme yang berkembang di Indonesia merupakan bias dari adanya gerakan Al-Qaeda yang dibentuk oleh Osama bin Laden di wilayah Timur Tengah. Pola perekrutan yang dilakukan di Indonesia hampir sama seperti yang dilakukan oleh Al-Qaeda. Semuanya dilakukan dengan memberikan doktrin-doktrin mulai dari yang paling sederhana dan secara bertahap sampai pada yang paling sulit. Sasaran perekrutan umumnya adalah pemuda-pemuda yang memiliki kecerdasan intelektual yang bagus dan juga mereka yang jauh dari keluarga.Meskipun pada awalnya, terorisme di Indonesia merupakan bias dari gerakan Al-Qaedanya Osama bin Laden, namun terorisme di Indonesia telah mengalami pergeseran ideologi yang melatar belakangi aksi-aksi terorisme di Indonesia. Pergeseran ideologi terorisme di Indonesia telah terlihat sejak sasaran serangan awal pada tahun 2000 yang terkait simbol barat, terutama Amerika Serikat.

4.        Pancasila sebagai Perlawanan terhadap Kultus Terorisme
Terorisme di Indonesia muncul sebagai gerakan yang meniru aliran atau pergerakan yang radikal di luar negeri, khususnya negara-negara di wilayah Timur Tengah. Hal itu salah satunya disebabkan oleh adanya pengaruh globalisasi yang tak terbendung. Padahal terorisme bukanlah merupakan budaya Indonesia. Selama ini Indonesia dikenal sampai ke mancanegara karena kearifan lokalnya serta sopan santu yang dijunjung tinggi oleh penduduknya. Namun, sejak awal tahun 2000-an gejala-gejala terorisme mulai menampakan diri.
Akibatnya, bangsa Indonesia yang sejak dahulu dikenal sebagai negara yang cinta damai dengan menggagas konferensi Asia-Afrika, juga dikenal sebagai pemersatu dunia ketiga, dan aksi pengiriman duta-duta perdamaian serta pasukan penjaga perdamaian ke negara-negara konflik kini terasa sia-sia, terlebih lagi ada sapaan yang tak mengenakkan mampir di telinga bangsa Indonesia yaitu disebut sebagai “negara sarang teroris”. Bahkan semenjak peristiwa “Bom Bali I”, banyak negara yang mengeluarkan “travel warning” bagi warganya yang hendak bepergian ke Indonesia.
Aksi terorisme mulai muncul di Indonesia pada dekade dimana bangsa Indonesia mulai melupakan pancasila. Pancasila tidak pernah lagi dipahami dan dihayati sebagai cara-cara hidup.Padahal, para founding father’s sejak awal mengatakan bahwa penyelamat, pemersatu, dan dasar NKRI adalah pancasila. Bung Karno secara tegas berkata, “bila bangsa Indonesia melupakan pancasila, tidak lagi menghayati dan mengamalkannya maka bangsa ini akan hancur berkeping-keping”. Hal itulah yang sedang terjadi pada bangsa kita sekarang ini. Pancasila hanya diucapkan di bibir saja, tidak pernah diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila diajarkan di sekolah-sekolah hanya sebagai pengetahuan, bahkan hanya sebagai sejarah. Para pelajar hafal isi dan urutan pancasila tapi tidak tahu arti dan peranannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kenyataan yang terlihat sekarang, pancasila telah diselengkan dari jalur keluhurannya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang memberi kebebasan dan jaminan kepada setiap bangsa Indonesia untuk memeluk agama dan keyakinannya telah terhalangi oleh pemikiran-pemikiran yang salah dan hanya mengistimewakan agama tertentu saja. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab diabaikan demi kepentingan pribadi dan golongan sehingga mengesampingkan keberadaban bangsa Indonesia itu sendiri. Sila Persatuan Indonesia kini telah luntur dan tertutup oleh ambisi kedaerahan. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan telah ternodai oleh sistem politik praktis demi memperoleh dukungan sebanyak-banyaknya dalam memperebutkan kekuasaan. Dan, yang terakhir Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia hanya tinggal slogan saja akibat adanya jurang pemisah yang begitu lebar antara “si miskin” dan “si kaya” sehingga menimbulkan kecemburuan sosial.
Dalam kondisi yang seperti itu, kultus terorisme akan mudah menyusup dan berkembang di Indonesia. Jika pancasila yang selama ini menjadi filter dalam globalisasi dunia yang tak terbatas, maka seharusnya kita sebagai bangsa Indonesia mengembalikan diri kepada keluhuran nilai-nilai pancasila itu sendiri. Tentunya peran pemerintah dalammenyegarkan kembali pancasila di Indonesia sangatlah penting. Pemerintah dapat memulainya dengan sosialisasi secara intensif ke daerah-daerah untuk menanamkan kembali nilai-nilai luhur pancasila terutama kepada para generasi muda. Dalam kaitannya dengan kultus terorisme di Indonesia, sosialisasi pancasila yang kuat akan membentuk faham yang kuat untuk memerangi doktrin terorisme di Indonesia. Selain peranan pemerintah, semua elemen bangsa Indonesia juga harus berperan aktif dalam penyegaran kembali pancasila di “bumi seribu rupa”, Indonesia.

5.        Kesimpulan dan Saran
Kultus adalah suatu bentuk persuasi yang ekstrim dan umumnya disampaikan dengan proses indoktrinisasi secara bertahap kepada calon anggota pergerakan kultus. Terorisme merupakan salah satu bentuk dari kultus yang bersifat destruktif. Pergerakan terorisme yang muncul selalu dikaitkan dengan kultus agama aliran keras, namun hal itu hanya sebuah kedok untuk menutupi organisasi yang ada di balik sebuah aliran kultus. Di Indonesia sendiri, kultus terorisme yang berkembang merupakan bias dari aliran-aliran kultus yang berkembang di luar negeri, khususnya di wilayah Timur Tengah. Dalam menghadapi kultus terorisme di Indonesia, perlu adanya penyegaran kembali nilai-nilai pancasila yang merupakan penyelamat, pemersatu, dan dasar NKRI. Penyegaran kembali pancasila memerlukan peranan dari semua elemen bangsa Indonesia demi terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa Indonesia seperti yang diharapkan para pendiri bangsa.
Saran yang dapat saya sampaikan adalah, kepada kita semua, bangsa Indonesia, sudah saatnya kita menyadari bahwa kondisi bangsa yang kacau balau dan kultus terorisme yang berkembang di Indonesia merupakan akibat dari kebodohan kita yang telah melupakan nilai-nilai luhur dari pancasila. Jadi, sudah saatnya bagi kita untuk kembali menjadikan pancasila sebagai cara-cara hidup dalam berbangsa dan bernegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar