Kamis, 12 Maret 2015

Essay Berdasarkan Film "Babies"

BABIES: KETIKA IBU DAN BAYI BERKOMUNIKASI
(SEBUAH REVIEW DAN KETERKAITAN ANTARA TRANSMISI BUDAYA DALAM PERKEMBANGAN BAHASA PADA ANAK)

Film “Babies” menceritakan tentang perkembangan bayi yang baru lahir di empat tempat berbeda dan dengan dua budaya yang berbeda, yaitu budaya masyarakat industrial-modern di Tokyo, Jepang dan San Fransisco, Amerika Serikat dengan masyarakat agrikultur-tradisional di Namibia, Afrika dan Mongolia. Selain itu, dalam film juga diperlihatkan bagaimana parenting etnotheory berperan mulai dari proses kehamilan hingga kelahiran. Di Afrika, pada suku Namibia, ketika seorang perempuan hamil mendekati masa kelahiran, perutnya diusap dengan bubuk berwarna merah (menurut saya mungkin terbuat dari tanah merah yang dihaluskan) dan dicampur dengan minyak khas dari suku tersebut. Mungkin hal tersebut dapat membantu proses kelahiran atau berguna bagi perkembangan bayi nantinya. Di Mongolia, seorang ibu mengusap-usap perut menjelang kelahiran bayinya dan diberika senam dengan iringan musik lembut di klinik guna membantu proses persalinan. Di Jepang dan Amerika Serikat, tidak ada treatmen yang khusus diperlihatkan menjelang kelahiran bayi. Hanya saja di Jepang diperlihatkan bahwa orangtua (ayah dan ibu) bercakap-cakap dan ayah membuat ibu tertawa sambil si ayah tadi belajar bagaimana cara menggendong bayinya, saya rasa apa yang mereka lakukan merupakan hal yang positif menjelang kelahiran bayi pertama.
Perlakuan yang berbeda juga didapatkan oleh bayi ketika bayi tersebut baru lahir. Di Afrika, bayi yang baru lahir dalam kondisi tradisional, dipegang oleh ibunya kemudian dilayang-layangkan di udara dengan posisi ibu masih berbaring dan menatap langsung ke wajah bayi. Setelah itu, bayi Afrika tersebut disusui oleh ibunya, saya menganggap bahwa hal ini merupakan perilaku ibu untuk berusaha membuat nyaman bayinya. Bayi yang baru lahir harus dibuat nyaman dengan didekatkan dengan ibunya karena akan berpengaruh terhadap tangisan bayi (Santrock, 2010). Bayi Mongolia yang baru lahir diletakkan tepat di samping ibunya dalam satu ruangan yang sama di klinik bersalin, hal ini berkaitan dengan perawatan pascalahir yang disampaikan Elizabeth B. Hurlock (1999), meletakkan tempat tidur bayi di sebelah tempat tidur ibu sehingga ibu dapat memenuhi kebutuhan perawatan bayinya merupakan hal yang sangat penting dalam menangani masalah tangisan pada bayi. Hasil penelitian M. Greenberg, I. Rosenberg, dan J. Lind (dalam Hurlock, 1999) menunjukkan bahwa ibu yang memiliki pengalaman sekamar dengan bayinya di rumah sakit lebih mampu menafsirkan arti tangis bayi dibandingkan ibu yang dirawat terpisah dengan bayinya. Lebih jauh, saya berpendapat bahwa ketika ibu mampu memahami arti tangis dari bayinya, hal tersebut merupakan modal dasar untuk membuka komunikasi yang lebih luas dengan bayi, bahkan mampu dijadikan dasar untuk melatih kemampuan berbahasa anak di kemudian hari. Sedangkan di Jepang, bayi yang baru lahir, kedua telapak kakinya ditulis karakter kanji (huruf Jepang) dengan tinta merah oleh ayahnya, hal ini mungkin termasuk suatu budaya di Jepang dan saya rasa menuliskan karakter kanji pada telapak kaki bayi yang baru lahir merupakan simbolisasi dari parenting etnotheory ketika bayi lahir. Di San Fransisco, bayi yang baru lahir dibantu dengan peralatan medis guna memantau kondisi fisik dari bayi tersebut, selanjutnya bayi di San Fransisco digendong sambil ditatap wajahnya oleh orang yang menggendong, mungkin ibunya atau perawat di rumah sakit. Namun, hal yang menarik perhatian saya pada bayi di San Fransisco adalah ketika bayi digendong dan wajahnya ditatap, bayi tersebut seakan tersenyum yang mengindikasikan bahwa bayi merasa nyaman dalam gendongan. Menurut Jovita Maria Ferliana, psikolog anak dan keluarga dari Rumah Sakit Royal Taruma, Jakarta, seperti yang dikutip dalam majalah Parents Indonesia Edisi Oktober 2014, menyatakan bayi seringkali tersenyum ketika berbaring atau dalam tidurnya, ini menandakan bahwa ia merasa cukup nyaman dengan lingkungan sekitarnya. Jovita juga menambahkan apabila bayi merasa nyaman dalam gendongan ibu atau orang terdekatnya maka hal tersebut akan menjadi modal bagi bayi untuk merespon suara dari ibu maupun orang lain, dan sekaligus menjadi dasar untuk perkembangan kemampuan berbahasa.
Selanjutnya, film “Babies” menampilkan tentang perawatan dan pengasuhan yang diberikan pada bayi di lingkungan dan budaya masing-masing dari empat tempat yang berbeda. Bayi Jepang, yang bernama Mari, didudukan diatas selimut dan ditepuk-tebuk punggungnya oleh ibu, serta disana juga ada ayah yang menemani. Saya rasa hal tersebut mungkin dilakukan untuk menghilangkan cegukan Mari yang pada scene sebelumnya telah disusui oleh ibunya. Kedekatan yang ditunjukkan oleh keluarga Mari merupakan suatu hal positif dalam membangun kedekatan antara orangtua, khususnya ibu dengan bayi. Elianor E. Maccoby dan John A. Martin (1976) mengatakan bahwa periode awal ketika bayi baru lahir merupakan suatu periode kritis untuk membangun kedekatan antara orangtua dengan bayi hal ini terutama dapat terwujud dengan adanya sentuhan-sentuhan lembut yang diberikan oleh orangtua untuk membuat nyaman bayinya. Berkaitan dengan pendapat dari  Elianor E. Maccoby dan John A. Martin (1976) maka, perilaku ibu Mari yang menepuk-nepuk punggung Mari dengan lembut untuk menghilangkan cegukannya dapat dikatakan sebagai suatu usaha untuk membuat nyaman Mari, sehingga nantinya rasa nyaman ini akan membuat Mari lebih merespon terhadap sekelilingnya. Sementara itu, bayi Mongol, yang bernama Bayar, diajak bicara oleh ibunya dalam bahasa lokal dengan nada yang khas sambil manatap Bayar yang terbaring di tempat tidur, dan sepertinya Bayar seakan-akan merespon perkataan ibunya melalui bahasanya sendiri, yaitu “bahasa bayi”. Saya sangat menyukai metode berbicara kepada bayi seperti yang dilakukan ibu Bayar, karena menurut psikolog anak dan keluarga, Jovita Maria Ferliana (seperti yang ditulis dalam Parents Indonesia Edisi Oktober 2014), bayi memang sudah bisa mengaitkan apa yang didengarnya dengan apa yang harus dilakukan dengan mulutnya. Cara ibu berbicara kepada bayi dengan penuh irama (motherese atau cara bicara ibu yang khas kepada bayinya) akan membuat bayi terpaku melihat wajah ibu dan dia mulai memahami arti kata-kata dan kalimat yang diucapkan ibunya. Sedangkan, bayi Afrika, yang bernama Ponijao disusui oleh ibunya sambil si ibu bercakap-cakap dan makan dengan ibu lain yang juga menyusui bayinya. Seperti disampaikan oleh Jovita, menurut saya posisi ketika bayi menikmati asi dari ibu merupakan posisi yang nyaman bagi bayi sehingga ketika perasaan nyaman itu dipadukan dengan obrolan ringan dari ibu dengan orang lain disekitarnya, maka bayi juga mendengar dan menangkap kata-kata yang diucapkan oleh ibunya, hal ini berarti bayi juga telah mendapatkan modal bahasa untuk dikembangkan. Ketika Ponijao buang air, ibunya dengan mudahnya membersihkan pantat Ponijoe dengan menggosokkannya ke lutut si ibu lalu baru dibersihkan. Saya rasa hal tersebut mungkin termasuk kedalam etno parenting dari suku Namibia, Afrika untuk menumbuhkan kelekatan antara ibu dengan bayi. Kemudian di belahan bumi lain tampak pemandangan yang sangat jauh berbeda dengan yang ada di Afrika, bayi Amerika yang bernama Hatie, dipangku dan dibacakan buku anak-anak oleh ibunya. Ketika Hatie dimandikan pun, ibunya tetap berbicara dengan nada lembut dan juga menatap wajah Hatie sambil kedua lengannya disatukan dan mengapung-ngapungkan badan Hatie di air. Menurut John W. Santrock (2010), kebiasaan ibu mengapung-ngapungkan bayi dengan kedua tangan saat memandikan bayi dapat membuat bayi merasa nyaman seperti ketika berada dalam kandungan sehingga bayi akan lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan di luar rahim dan mampu menjalin kedekatan emosi antara bayi dengan ibu. Adanya kebiasaan berupa motherese (ketika ibu berbicara dengan lembut kepada Hatie selagi memandikannya) yang dilakukan oleh ibu Hatie menunjukkan adanya kesamaan cara menstimulasi perkembangan komunikasi bayi dengan yang dilakukan oleh ibu Bayar di Mongolia.
Saya juga merasa ada keunikan tersendiri ketika bayi-bayi dari empat tempat berbeda dengan latar belakang budaya yang berbeda melakukan interaksi dengan lingkungannya. Di Afrika, bayi yang bernama Ponijao lebih leluasa untuk berinteraksi dengan lingkungannya karena Ponijao dibiarkan dengan bebas mengeksplorasi, menjelajah area sekitar, bahkan hingga memasukan benda-benda yang ia temui di tanah ke dalam mulut. Namun, di sisi lain, Ponijao juga sering digendong di punggung oleh ibunya ketika melakukan suatu pekerjaan dan sering terjadi interaksi antara Ponijao dengan si ibu. Hal yang menarik adalah ketika Ponijao berusaha mengikuti irama yang diucapkan ibunya (melakukan imitasi), saya rasa irama tersebut merupakan salah satu bentuk interaksi yang dapat mengawali proses perkembangan bahasa. Hal lain yang menarik adalah ketika Ponijau diajarkan berbicara oleh ibunya dengan mengucapkan kata “mama...”, Ponijao menjawab dengan melakukan babbling (celoteh), yaitu membuat suara yang serupa dengan ibunya, meskipun tidak begitu tepat. Babbling (celoteh) biasanya dilakukan oleh bayi yang berusia 6-7 minggu, bayi mulai membuat suara dalam kondisi nyaman dan secara tidak langsung dengan babbling bayi melatih kematangan organ artikulasinya (Jovita dalam Parents Indonesia, 2014). Jadi dapat dikatakan bahwa ketika babbling, Ponijao juga mengungkapkan perasaan nyamannya saat bersama ibu. Kemudian, bayi Mongolia, Bayar, lebih sering ditinggal di tempat tidur ketika ibunya sedang sibuk. Ketika bisa merangkak, Bayar juga lebih sering bermain di sekitar rumah, meski sekali ditayangkan bahwa orangtua Bayar pernah mengajaknya menghadiri suatu acara tetapi, secara keseluruhan Bayar lebih sering menghabiskan waktunya di rumah, untuk interasinya sendiri, Bayar hanya berinteraksi dengan orangtua dan kakaknya. Saya menangkap bahwa mungkin kemampuan anak untuk bersosialisasi dengan orang lain (selain keluarga) bukanlah menjadi fokus utama dalam masyarakat Mongolia, sehingga Bayar memang lebih sering dibiarkan berada di rumah oleh orangtuanya atau mungkin karena masalah geografis dimana dataran tinggi Mongolia dikelilingin oleh bukit-bukit dan jalanan yang landai sehingga orangtua Bayar jarang mengajaknya bepergian. Pada sisi lain, menurut saya masyarakat Mongolia memang memberi fokus pada perkembangan psikomotorik dari anak, ditunjukkan ketika Bayar dibiarkan dengan bebas merangkak menjelajahi halaman rumah dan berkotor-kotoran, hingga dibiarkan tertidur disebelah hewan-hewan ternak. Penekanan pada perkembangan motorik ini juga saya lihat terjadi pada Ponijao di Afrika, jadi mungkin memang ada kesamaan antara penekanan proses perkembangan pada individu antara suku Namibia di Afrika dengan suku Mongolia yang notabene merupakan masyarakat agrikultur. Pada masyarakat modern di Jepang, Mari, sering menghabiskan waktu dengan jalan-jalan dan bepergian bersama ibunya seperti mengikuti kegiatan bermain dengan ibu-ibu dan bayi-bayi lain dan ketika ibunya sedang sibuk, Mari dititipkan di tempat penitipan bayi. Bagi saya kegiatan Mari bersama ibunya sangat berperan dalam perkembangan sosialisasi di masa depan, karena dengan mengikuti kegiatan bersama dengan ibunya dan bayi-bayi lain, Mari akan memiliki banyak kesempatan untuk bertemu dan mengenal teman sebayanya dan hal tersebut akan menguatkan motivasi Mari untuk belajar bicara pada usia sekitar 18 bulan nantinya. Pendapat yang saya sampaikan ini juga didukung oleh adanya teori mengenai kondisi yang menimbulkan perbedaan dalam belajar bicara yang disampaikan oleh Elizabeth B. Hurlock (1999), salah satu faktor yang mendorong motivasi untuk belajar bicara pada anak adalah adanya hubungan dengan teman sebaya. Dikatakan bahwa semakin banyak hubungan anak dengan teman sebayanya maka akan semakin besar keinginan anak untuk diterima sebagai anggota kelompok sebaya dan akan semakin menguatkan motivasi anak untuk belajar bicara. Pada perkembangan bicara Mari, menurut saya ibu Mari telah memfasilitasi hubungan teman sebaya yang luas dengan kegiatan-kegiatan kelompok yang dilakukan bersama. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Amerika, Hatie, semenjak dini telah ditanamkan kebiasaan membaca oleh orangtuanya. Ibu dan ayah Hatie sering membacakan Hatie buku anak-anak, hal ini diperlihatkan pada scene ketika ibu Hatie membacakan buku cerita bergambar sambil menempatkan Hatie di pangkuannya dan scene ketika ayah Hatie membacakan buku tentang hewan kepada Hatie di tempat tidur lalu ayah dan ibu Hatie meniru gerakan gajah untuk mengenalkan hewan tersebut kepada Hatie. Hatie dan ibunya juga mengunjungi tempat bermain untuk melatih gerakan-gerakan otot Hatie dan juga bernyanyi suatu nyanyian bersama dengan ibunya. Perilaku ibu-ibu di masyarakat industrial-modern yang sering mengajak bayinya jalan-jalan keluar rumah dan mengikuti berbagai kegiatan dengan teman sebaya seperti yang dilakukan oleh ibu Mari dan ibu Hatie ternyata merupakan salah satu cara memberikan stimulasi agar bayi memiliki kemapanan dalam berkomunikasi dan akan berdampak positif dalam mempercepat perkembangan bahasanya, seperti yang disampaikan oleh Dr. Elisabeth Hutapea, SpA dan Jovita Maria Ferliana, M.Psi dalam Parents Indonesia Edisi Oktober 2014 yang menyatakan ada beberapa cara yang dapat dilakukan orangtua untuk menstimulasi perkembangan komunikasi bayi, salah satunya adalah mengajak bayi jalan-jalan keluar rumah, karena dengan pergi jalan-jalan keluar rumah, bayi akan bertemu dengan hal-hal baru bahkan orang-orang baru dan memperoleh kosakata baru dari apa yang didengarnya. Orangtua juga dapat mengajarkan kosakata baru berkaitan dengan hal-hal yang dilihat bayi ketika jalan-jalan.
Berdasarkan paparan mengenai review film “Babies”, saya dapat menyimpulkan bahwa keterkaitan mendasar antara interaksi orangtua khususnya ibu, dengan bayinya dalam budaya apapun, merupakan suatu upaya dalam melakukan transmisi kebudayaan pada anak. Interaksi yang saya maksud adalah interaksi yang berkaitan dengan komunikasi ibu dengan bayi yang meliputi motherese (cara berbicara ibu yang khas kepada bayinya), reflective vocalization (tangisan dan senyuman bayi), babbling (celoteh atau bayi mulai membuat suara-suara), dan aktivitas bersama yang dilakukan oleh ibu dengan bayinya. Komunikasi antara ibu dengan bayi akan menjadi modal awal bayi untuk memulai perkembangan bahasanya ketika memasuki usia 18 hingga 24 bulan yang merupakan tahap awal perkembangan bahasa (Santrock, 2010). Alasan saya memberikan penekanan terhadap perkembangan bahasa karena selain merupakan bentuk budaya, bahasa juga berperan dalam mentransmisikan bentuk-bentuk kebudayaan lain kepada anak melalui proses sosialisasi dan enkulturasi, pendapat saya ini diperkuat oleh Ernst Cassirer (dalam Sarlito, 2014) yang menyatakan bahwa bahasa menciptakan budaya dan budaya mempengaruhi bahasa, lebih lanjut Matsumoto dan Juang (dalam Sarlito, 2014) mengatakan bahwa hubungan timbal-balik antara budaya dan bahasa menunjukkan bahwa tidak ada satupun budaya yang dapat dipahami tanpa memahami bahasanya, begitu pula sebaliknya. Jadi, dapat dikatakan bahwa mengoptimalkan perkembangan bahasa pada anak merupakan salah satu tahapan awal untuk menanamkan kebudayaan.

DAFTAR REFERENSI

Berry, John W., et al. (2002). Cross Cultural Psychology: Research and Applications, Second Edition. England: Cambridge University Press

Hurlock, Elizabeth B. (1999). Perkembangan Anak Jilid 1. Diterjemahkan oleh: Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih. Jakarta: Erlangga.

Jovita Maria Ferliana dan Elisabeth Hutapea seperti yang ditulis dalam ___.(2014). Saat Bayi Berkomunikasi. Parents Indonesia Edisi Oktober 2014.

Maccoby, Elianor E. and Martin, John A. (1976). Handbook of Child Psychology Volume IV. New York: John Wiley & Sons.

M. Greenberg, I. Rosenberg, and J. Lind seperti yang dikutip dalam Hurlock, Elizabeth B. (1999). Perkembangan Anak Jilid 1. Diterjemahkan oleh: Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih. Jakarta: Erlangga.

Santrock, John W. (2010). Life-Span Development, Thirteenth Edition. Dallas: McGraw Hill.

Sarlito W. Sarwono. (2014). Psikologi Lintas Budaya. Jakarta: Rajawali Press.


Kamis, 08 Agustus 2013

Perbedaan Antara Otak Ekstrovert dan Introvert

Sedari dulu para ilmuwan mencoba meneliti bagaimana proses di otak mereka yang ekstrovert dan introvert.

Thinkstock

Mereka yang ekstrovert dan introvert memiliki cara pemrosesan di otak yang berbeda. Hasil penelitian yang dirilis oleh jurnal Frontiers in Human Neuroscience menemukan bahwa mereka yang ekstrovert akan lebih mengasosiasikan rasa bahagia pada lingkungan mereka.
Sedari dulu para ilmuwan mencoba meneliti bagaimana proses di otak mereka yang ekstrovert dan introvert. Peneliti menyimpulkan bahwa mereka yang ekstrovert menyukai pujian dan lebih berfokus pada wajah. Di sisi lain, mereka yang introvert sulit menerima terlalu banyak rangsangan dan lebih memperhatikan detail.
Yu Fu dan Richard Depue, ahli saraf dari Cornell University di New York, melakukan tes kepribadian pada mahasiswa baru. Partisipan mengkonsumsi ritalin, stimulan yang biasanya dipakai untuk menanggulangi gangguan akibat kurang perhatian atau malah hiperaktif (attention-deficit/hyperactivity disorder, atau ADHD). Ritalin merangsang munculnya dopamin yang memegang peran dalam motivasi. Sementara itu pada waktu yang sama partisipan menonton video.
Sesudahnya tim peneliti menguji bagaimana partisipan mengasosiasikan video dan lingkungannya serta hubungannya dengan dopamin yang terangsang Ritalin. Hasilnya efek Ritalin pada sistem dopamine tidak menjadi motivasi bagi mereka yang introvert. Ini berarti bahwa introvert memiliki pemrosesan yang berbeda mengenai apa ganjaran dari lingkungan dengan otak introvert lebih memikirkan apa yang ada dalam pikiran daripada motivasi eksternal. 
Penemuan ini menemukan hubungan antara sifat pribadi pada pemrosesan di sistem saraf manusia.
(Mohamad Takdir, Sumber: intisari-online.com, Huffington Post, http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/08/perbedaan-antara-otak-ekstrovert-dan-introvert)

Sabtu, 03 Agustus 2013

The Social Experiment - The Bystander Effect




This video about an experiment in social psychology-"The Bystander Effect"
conducted by Ngee Ann Polytechnic students for Social Psychology's final assignment.

Sleeping With Sirens covers "Iris" by The Goo Goo Dolls

This song is so inspired me... I'm really love Sleeping with Sirens and The Goo Goo Dolls And now, Sleeping with Sirens covered "Iris" by The Goo Goo Dolls That was amazed :)

Jumat, 02 Agustus 2013

10 Cara Meningkatkan Kecerdasan Emosional Anda

10 Cara Meningkatkan Kecerdasan Emosional Anda, Psikologi Zone – Semua orang selalu berbicara tentang Emotional Intelligence (EI), dalam bahasa Indonesia biasa disebut intelegensi emosional atau kecerdasan emosional, tapi apa sebenarnya itu? Salah satu aspek penting dari kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memahami, mengendalikan dan mengevaluasi emosi – dalam diri sendiri dan orang lain – dan menggunakannya sebagai informasi yang tepat.
Sebagai contoh, kecerdasan emosional dalam diri sendiri dapat membantu Anda mengatur dan mengelola emosi Anda, sementara mengakui emosi orang lain dapat menciptakan empati dan keberhasilan dalam hubungan Anda, baik hubungan pribadi maupun hubungan profesional.
Pada tahun 1990, psikolog Yale John D. Mayer dan Peter Salovey memunculkan istilah kecerdasan emosional, yang beberapa peneliti mengklaim bahwa ini adalah karakteristik bawaan, sementara yang lain menunjukkan bahwa Anda dapat mengembangkan dan meningkatkannya.
Mungkin tidak semua dari anda memiliki psikoterapis untuk meningkatkan kecerdasan emosional anda, namun kini Anda bisa menjadi terapis sendiri. Hal yang sama juga dilakukan oleh Freud, seorang tokoh psikoanalisis. Semua itu dimulai dengan belajar bagaimana untuk mendengarkan perasaan-perasaan Anda. Meskipun tidak mudah, mengembangkan kemampuan untuk mengelola emosi Anda sendiri, namun ini adalah langkah pertama dan paling penting.
Norman Rosenthal, MD, seorang psychiatrist dan peneliti seasonal affective disorder menjelaskan dalam sebuah bukunya yang berjudul “The Emotional Revolution”, dikutip dari psychology today (5/1/12), berikut adalah 10 cara untuk meningkatkan kecerdasan emosional Anda:

  1. Coba rasakan dan pahami perasaan anda. Jika perasaan tidak nyaman, kita mungkin ingin menghindari karena mengganggu. Duduklah, setidaknya dua kali sehari dan bertanya, “Bagaimana perasaan saya?” mungkin memerlukan waktu sedikit untuk merasakannya. Tempatkan diri Anda di ruang yang nyaman dan terhindar dari gangguan luar.
  2. Jangan menilai atau mengubah perasaan Anda terlalu cepat. Cobalah untuk tidak mengabaikan perasaan Anda sebelum Anda memiliki kesempatan untuk memikirkannya. Emosi yang sehat sering naik dan turun dalam sebuah gelombang, meningkat hingga memuncak, dan menurun secara alami. Tujuannya adalah jangan memotong gelombang perasaan Anda sebelum sampai puncak.
  3. Lihat bila Anda menemukan hubungan antara perasaan Anda saat ini dengan perasaan yang sama di masa lalu. Ketika perasaan yang sulit muncul, tanyakan pada diri sendiri, “Kapan aku merasakan perasaan ini sebelumnya?” Melakukan cari ini dapat membantu Anda untuk menyadari bila emosi saat ini adalah cerminan dari situasi saat ini, atau kejadian di masa lalu Anda.
  4. Hubungkan perasaan Anda dengan pikiran Anda. Ketika Anda merasa ada sesuatu yang menyerang dengan luar biasa, coba untuk selalu bertanya, “Apa yang saya pikirkan tentang itu?” Sering kali, salah satu dari perasaan kita akan bertentangan dengan pikiran. Itu normal. Mendengarkan perasaan Anda adalah seperti mendengarkan semua saksi dalam kasus persidangan. Hanya dengan mengakui semua bukti, Anda akan dapat mencapai keputusan terbaik.
  5. Dengarkan tubuh Anda. Pusing di kepala saat bekerja mungkin merupakan petunjuk bahwa pekerjaan Anda adalah sumber stres. Sebuah detak jantung yang cepat ketika Anda akan menemui seorang gadis dan mengajaknya berkencan, mungkin merupakan petunjuk bahwa ini akan menjadi “sebuah hal yang nyata.” Dengarkan tubuh Anda dengan sensasi dan perasaan, bahwa sinyal mereka memungkinkan Anda untuk mendapatkan kekuatan nalar.
  6. Jika Anda tidak tahu bagaimana perasaan Anda, mintalah bantuan orang lain. Banyak orang jarang menyadari bahwa orang lain dapat menilai bagaimana perasaan kita. Mintalah seseorang yang kenal dengan Anda (dan yang Anda percaya) bagaimana mereka melihat perasaan Anda. Anda akan menemukan jawaban yang mengejutkan, baik dan mencerahkan.
  7. Masuk ke alam bawah sadar Anda. Bagaimana Anda lebih menyadari perasaan bawah sadar Anda? Coba asosiasi bebas. Dalam keadaan santai, biarkan pikiran Anda berkeliaran dengan bebas. Anda juga bisa melakukan analisis mimpi. Jauhkan notebook dan pena di sisi tempat tidur Anda dan mulai menuliskan impian Anda segera setelah Anda bangun. Berikan perhatian khusus pada mimpi yang terjadi berulang-ulang atau mimpi yang melibatkan kuatnya beban emosi.
  8. Tanyakan pada diri Anda: Apa yang saya rasakan saat ini. Mulailah dengan menilai besarnya kesejahteraan yang anda rasakan pada skala 0 dan 100 dan menuliskannya dalam buku harian. Jika perasaan Anda terlihat ekstrim pada suatu hari, luangkan waktu satu atau dua menit untuk memikirkan hubungan antara pikiran dengan perasaan Anda.
  9. Tulislah pikiran dan perasaan Anda ketika sedang menurun. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dengan menuliskan pikiran dan perasaan dapat sangat membantu mengenal emosi Anda. Sebuah latihan sederhana seperti ini dapat dilakukan beberapa jam per minggu.
  10. Tahu kapan waktu untuk kembali melihat keluar. Ada saatnya untuk berhenti melihat ke dalam diri Anda dan mengalihkan fokus Anda ke luar. Kecerdasan emosional tidak hanya melibatkan kemampuan untuk melihat ke dalam, tetapi juga untuk hadir di dunia sekitar Anda.
Sumberwww.psikologizone.com/

Selasa, 23 Juli 2013

Bystander Effect

Definition and Overview about Bystander Effect

The bystander effect or Genovese syndrome is a social psychological phenomenon that refers to cases where individuals do not offer any means of help in an emergency situation to the victim when other people are present. The probability of help has often appeared to be inversely related to the number of bystanders; in other words, the greater the number of bystanders, the less likely it is that any one of them will help. The mere presence of other bystanders greatly decreases intervention. In general, this is believed to happen because as the number of bystanders increases, any given bystander is less likely to notice the situation, interpret the incident as a problem, and less likely to assume responsibility for taking action. (www.wikipedia.com)

The bystander effect occurs when the presence of others hinders an individual from intervening in an emergency situation. Social psychologists Bibb Latané and John Darley popularized the concept following the infamous 1964 Kitty Genovese murder in Kew Gardens, New York. Genovese was stabbed to death outside her apartment three times, while bystanders who reportedly observed the crime did not step in to assist or call the police. Latane and Darley attributed the bystander effect to the diffusion of responsibility (onlookers are more likely to intervene if there are few or no other witnesses) and social influence (individuals in a group monitor the behavior of those around them to determine how to act). In Genovese's case, each onlooker concluded from their neighbors' inaction that their own help was not needed. (www.psychologytoday.com)

Why Don’t We Help? Less Is More, at Least When It Comes to Bystanders (www.psychologytoday.com Published on November 4, 2009 by Melissa Burkley, Ph.D. in The Social Thinker)

On October 24th, 2009, as many as 20 witnesses watched as a 15 year old girl was brutally assaulted and raped outside a homecoming dance in Richmond, CA. The viciousness of the attack was shocking, but what was even more shocking was the fact that so many people witnessed the attack and yet failed to intervene or call police. As one of the police officers involved in the case states, "what makes it even more disturbing is the presence of others. People came by, saw what was happening and failed to report it." Some of the bystanders reportedly even laughed and took photos of the assault with their cell phones.
How could people just stand by and watch something this horrible happen to a young, innocent girl? Some have suggested that the eyewitnesses' failure to report the incident likely resulted from a concern over being labeled as a snitch. Although this is possible, social psychological research on the bystander effect suggests a different cause - there were too many eyewitnesses present. The bystander effect refers to the fact that people are less likely to offer help when they are in a group than when they are alone. Research on this effect was inspired by a real-world account that seems hauntingly similar to the recent event in Richmond.
In 1964, 28 year old Kitty Genovese was raped and stabbed to death in front of her apartment complex. The attack lasted over 30 minutes and was witnessed by several dozen people who failed to report the incident. Some failed to realize that an actual crime was going on, claiming they thought it was a "lover's quarrel", whereas others realized they were witnessing a crime, but failed to report it because they assumed that someone else had already called the police. A similar incident took place in New Bedford, MA, in 1983 when several men raped a woman on a pool table in front of several witnesses in a bar. The 1988 film "The Accused" depicted this incident and Jodie Foster went on to earn an Academy Award for her performance as the rape victim. More recently, a 22 year old college student died from water intoxication in 2005 when four of his fellow fraternity brothers failed to intervene during a deadly hazing incident.
To determine the underlying reasons why these witnesses failed to help, John Darley and Bibb Latane conducted a series of lab experiments to examine how the presence of others influences people's helping behavior in an emergency situation. The results of these studies suggest there are two clear reasons why the eyewitnesses in the Richmond case may have failed to help.

1.    Pluralistic Ignorance
One of the first steps in anyone's decision to help another is the recognition that someone is actually in need of help. To do this, the bystander must realize that they are witnessing an emergency situation and that a victim is in need of assistance. Consequently, a major reason why eyewitnesses fail to intervene is that they do not even realize they are witnessing a crime. When we are in an ambiguous situation and we are not sure whether there is an emergency or not, we often look to others to see how they are reacting. We assume that others may know something that we don't, so we gauge their reactions before we decide how we will respond. If those around us are acting as if it is an emergency, then we will treat it like an emergency and act accordingly. But if those around us are acting calm, then we may fail to recognize the immediacy of the situation and therefore fail to intervene.
For example, imagine you are at the community pool and you see a child splashing wildly in the water. Your first instinct would probably be to look around you and see how others are responding. If others appear shocked and are yelling for help, you may conclude that the child is drowning and dive in to help. But, if those around you are ignoring the child or laughing, you may conclude that they child is just playing around. To avoid looking foolish, you would probably just continue watching and would fail to dive in and help. This seems like a reasonable approach and for the most part, it prevents us from making a fool out of ourselves. But the problem is that this tendency to look to others in order to determine how to respond can be biased by a phenomenon known as pluralistic ignorance. Pluralistic ignorance describes a situation where a majority of group members privately believe one thing, but assume (incorrectly) that most others believe the opposite.
For example, pluralistic ignorance explains why my undergraduate students often fail to ask questions in class. Let's say that one of my students is confused about the class material I just covered and wants to ask me to clarify. Before raising her hand, she will likely look around to room to see if any of her fellow students seem confused or have their hand up as well. If no one else looks puzzled, she will conclude that she is the only one in the room that didn't get the material. To avoid looking stupid, she may choose to keep her hand down and not ask me her question. But as a teacher, I have discovered that if one student is unsure about the material, odds are most of the students are. So in this situation, my class is suffering from pluralistic ignorance because each one assumes they are the only one confused, when in fact all the students are confused and all of them are incorrectly concluding that they are the only one. The same process can occur when we witness an ambiguous emergency situation. All the bystanders may look to each other to determine if they are witnessing a crime, and if no one reacts, then everyone will wrongly conclude that this is not an emergency and no one will step up and help. The fact that several of the eyewitnesses in the Richmond case were laughing and taking photos with their cell phones suggests that they simply failed to realize they were witnessing a brutal rape and instead may have thought it was a prank.
In one of Darley and Latane's classic studies, they tried to recreate this phenomenon in the lab. For their study, they had participants complete a questionnaire and after a few minutes, smoke started to pour into the room underneath a door in the back. Some participants were the only one in the room when this happened, but for others, there were two other students completing questionnaires in the room as well. In actuality, these two "students" were working for the researchers and were instructed to keep calm not matter what happens. The key question in this study was would the participant notice the smoke and go get help or would they simply write it off as nothing concerning and continue working on their questionnaire. The result showed that when the participant was alone, 75% of them left to report the smoke. But when there were two other people in the room who remained calm, only 10% left to get help. In some cases, the smoke got so thick the participant could barely read the questionnaire in front of them! Yet, as long as their fellow bystanders remained in calm, they did as well. Thus, when we are alone, we are more likely to assume an ambiguous situation represents and emergency and act accordingly. When we are in the presence of other bystanders, we are likely to look to those others for guidance and if they are not responding or are laughing or are taking photos of the event, we will mistakenly conclude it is not an emergency and will fail to help.

2.    Diffusion of Responsibility
Even if people recognize that they are witnessing a crime, they may still fail to intervene if they do not take personal responsibility for helping the victim. The problem is that the more bystanders there are, the less responsible each individual feels. When you are the only eyewitness present, 100% of the responsibility for providing help rests on your shoulders. But if there are five eyewitnesses, only 20% of the responsibility is yours. The responsibility becomes defused or dispersed among the group members. In these situations, people may assume that someone else will help or that someone else is better qualified to provide assistance. But if everyone assumes this, then no one will intervene. Darley and Latane also investigate this phenomenon in a lab study.
Specifically, they had participants take part in a group discussion over an intercom system. Some participants talked one-on-one over the intercom with another person and some talked over the intercom with a group of 5 other people. During the discussion, one of the voices on the intercom stated they were having a seizure and called out for help. In actuality, this was a prerecorded voice. For those who were led to believe they were the only person who overheard the seizure, 85% sought help. But for those who thought they were one of six people who overheard the seizure, only 31% sought help. So even when we are aware that an emergency is occurring, we are still less likely to help if other bystanders are present. So what about these people who overheard the seizure and didn't help? Were they just indifferent? Follow up interviews at the end of the study suggested that they were in fact concerned. Most mentioned overhearing the seizure, many had trembling hands and were clearly shaken from the experience and several inquired as to whether the victim finally received help. This tells us that they were not indifferent or heartless; they were concerned but simply didn't feel responsible enough to do anything about it. Interestingly, the researchers also asked if the participants thought that the presence of other bystanders affected their decision to get help or not and the most said it did not. So even though the presence of others clearly affects our helping behavior, we are unaware of this influence.we are still less likely to help if other bystanders are present. So what about these people who overheard the seizure and didn't help? Were they just indifferent? Follow up interviews at the end of the study suggested that they were in fact concerned. Most mentioned overhearing the seizure, many had trembling hands and were clearly shaken from the experience and several inquired as to whether the victim finally received help. This tells us that they were not indifferent or heartless; they were concerned but simply didn't feel responsible enough to do anything about it. Interestingly, the researchers also asked if the participants thought that the presence of other bystanders affected their decision to get help or not and the most said it did not. So even though the presence of others clearly affects our helping behavior, we are unaware of this influence.
So once again, how can we use the knowledge garnered from this study to our advantage? First, if you find yourself in an emergency situation with several fellow bystanders, realize that your first instinct (and the first instinct of those around you) will be to deny responsibility for helping the victim. By simply being aware of the diffusion of responsibility process, it may snap you out of the biased way of thinking and cause you to realize that you and everyone present is each 100% responsible for helping the victim. Second, if you find yourself in need of help, it is up to you to actively make one of your eyewitnesses feel personally responsible for your well-being. When we are in need of help and there is a crowd watching, we often plead for help to anyone that is listening, thinking that at least one person will step up to intervene. But self-defense instructors advise that you instead pick one person out of the crowd, look them dead in the eye, and tell that one person you need help. By pleading to a specific individual, you suddenly make that person feel completely responsible for your safety and this increases the odds that they will help. The same technique can be used if you are trying to get several others to help you assist a victim. Point to one person and tell them to go get help; point to another and tell them to call 911. Giving specific instructions to specific people counteracts the diffusion of responsibility process.

3.    Conclusion
We typically think that the more people who witness a crime, the more people there will be to help the victim, but these classic social psychology experiments call this assumption into question. By making yourself and others aware of the factors that lead to such bystander apathy, we can hopefully make events like those that occurred in Richmond, CA and Bedford, MA a thing of the past.

About The Writer:

Melissa Burkley, Ph.D.

Melissa Burkley, Ph.D., is currently an assistant professor of social psychology at Oklahoma State University. She earned her doctoral degree from the University of North Carolina at Chapel Hill in 2006. She conducts research in the area of social cognition, particularly with a focus on stereotypes and prejudice. Her recent work has examined what it is like to be the member of a stereotyped group. In her free time, she enjoys traveling, photography, writing and spending lazy Sunday afternoons with her husband and puppy.

Rabu, 17 Juli 2013

Sekilas Tentang Otak Manusia (Bagian 3)



OTAK DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN PADA FASE DEWASA AWAL DAN DEWASA AKHIR


  • PENGARUH PERKEMBANGAN OTAK BAYI TERHADAP MASALAH PERKEMBANGAN PADA FASE DEWASA AWAL
Dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja. Masa remaja yang ditandai dengan pencarian identitas diri, pada masa dewasa awal, identitas diri ini didapat sedikit-demi sedikit sesuai dengan umur kronologis dan mental age-nya. Berbagai masalah juga muncul dengan bertambahnya umur pada masa dewasa awal. Dewasa awal adalah masa peralihan dari ketergantungan kemasa mandiri, baik dari segi ekonomi, kebebasan menentukan diri sendiri, dan pandangan tentang masa depan sudah lebih realistis.
Erickson (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) mengatakan bahwa seseorang yang digolongkan dalam usia dewasa awal berada dalam tahap hubungan hangat, dekat dan komunikatif dengan atau tidak melibatkan kontak seksual. Bila gagal dalam bentuk keintiman maka ia akan mengalami apa yang disebut isolasi (merasa tersisihkan dari orang lain, kesepian, menyalahkan diri karena berbeda dengan orang lain).
Hurlock (1990) mengatakan bahwa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun samapi kira-kira umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.
Secara umum, mereka yang tergolong dewasa muda (young ) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun. Menurut seorang ahli psikologi perkembangan, Santrock (1995), orang dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition) transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran sosial (social role trantition).
Perkembangan sosial masa dewasa awal adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah masa beralihnya padangan egosentris menjadi sikap yang empati. Pada masa ini, penentuan relasi sangat memegang peranan penting. Menurut Havighurst (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) tugas perkembangan dewasa awal adalah menikah atau membangun suatu keluarga, mengelola rumah tangga, mendidik atau mengasuh anak, memikul tangung jawab sebagai warga negara, membuat hubungan dengan suatu kelompok sosial tertentu, dan melakukan suatu pekerjaan. Dewasa awal merupakan masa permulaan dimana seseorang mulai menjalin hubungan secara intim dengan lawan jenisnya. Hurlock (1993) dalam hal ini telah mengemukakan beberapa karakteristik dewasa awal dan pada salah satu intinya dikatakan bahwa dewasa awal merupakan suatu masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru dan memanfaatkan kebebasan yang diperolehnya.
Dengan bertambahnya usia, semakin bertambahpula masalah-masalah yang menghampiri. Dewasa awal adalah masa transisi, dari remaja yang huru-hara, kemasa yang menuntut tanggung jawab. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak orang dewasa awal mengalami masalah-masalah dalam perkembangannya. Masalah-masalah itu antara lain:

1)   Penentuan identitas diri ideal vs kekaburan identitas.
Dewasa awal merupakan kelanjutan dari masa remaja. Penemuan identitas diri adalah hal yang harus pada masa ini. Jika masa ini bermasalah, kemungkinan individu akan mengalami kekaburan identitas. Salah satu cara agar pada masa dewasa awal ini, anak dapat menentukan identitas dirinya mengenai siapa dia, bagaimana keyakinannya, seperti apa nilai yang dianutnya, kesemuanya itu dapat ditanamkan sejak sedini mungkin dengan memanfaatkan perkembangan otak pada masa bayi dengan menggunakan metode-metode sederhana seperti mengajarkan anak berdoa dan tentang konsep ketuhanan serta nilai-nilai melalui cerita dongeng.

2)   Kemandirian vs tidak mandiri.
Ketidakmandirian pada fase dewasa awal biasanya diakibatkan oleh pola asuh yang salah ketika ia masih kecil. Menanamkan kebiasaan mandiri pada anak haruslah sedini mungkin. Caranya adalah dengan Orangtua juga harus bersikap positif pada anak, seperti: memuji, memberi semangat atau memberi pelukan hangat sebagai bentuk dukungan terhadap usaha mandiri yang dilakukan anak. Adanya penghargaan atas usaha anak untuk menjadi pribadi mandiri, terlepas dari apakah pada saat itu ia berhasil atau tidak. Dengan tumbuhnya perasaan berharga, anak akan memiliki kepercayaan diri yang sangat dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang selanjutnya. Betapapun kotornya anak pada saat ia mencoba makan sendiri, betapapun tidak rapinya anak pada saat ia mencoba mandi sendiri, betapapun lamanya waktu yang dibutuhkan anak untuk memakai kaus kaki dan memilih sepatu atau baju yang tepat, hendaknya orangtua tetap sabar untuk tidak bereaksi negatif terhadap anak, seperti mencela atau meremehkan anak. Apabila orangtua atau lingkungan bereaksi negatif atau tidak menghargai usaha anak untuk mandiri, maka hal ini akan berdampak negatif pada diri anak, seperti anak bisa tumbuh menjadi seorang yang penakut, tidak berani memikul tanggung jawab, tidak termotivasi untuk mandiri dan cenderung memiliki kepercayaan diri yang rendah.

3)   Sukses meniti jenjang pendidikan dan karir vs gagal menempuh jenjang pendidikan dan karir.
Kesuksesan seseorang dalam pendidikan dan kariernya, semuanya tergantung dari nilai-nilai yang menjadi landasan dalam setiap tindakan orang itu. Sedangkan penanaman nilai-nilai itu harus dimulai sejak sedini mungkin karena nilai-nilai yang ditanamkan sejak usia dini akan menjadi karakter atau sifat bawaan saat anak telah dewasa nantinya. Oleh sebab itu, orang tua harus selalu menanamkan nilai-nilai positif pada anak, agar ia tumbuh menjadi pribadi berkarakter baik pula. Salah satu cara penanaman nilai-nilai positif pada anak adalah dengan memberi contoh konkret pada anak sehingga dapat dilihatnya secara langsung. Anak usia dini, cenderung mencontoh apa yang ia lihatn secara langsung.

4)   Menikah vs tidak menikah (lambat menikah).
Mengambil keputusan untuk menikah atau tidak menikah adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan dewasa awal. Namun, dalam pengambilan keputusan itu banyak orang dewasa yang sering mengalami keraguan tentang memutuskan jalan hidupnya sendiri. Hal inilah yang kemudian menjadi suatu permasalahan yang melibatkan perasaan dan emosi yang berkepanjangan. Dalam pengambilan keputusan, sebenarnya dapat dilatih sejak dini pada anak dengan cara orang tua melibatkan anaknya saat mengambil keputusan. Misalnya, tanyakanlah pendapat anak tentang rencana yang dibuat orang tua untuk berlibur, atau menanyakan pendapat anak saat memilihkan pakaian untuknya. Hal ini dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada anak dan anak juga akan merasa bahwa ia dihargai.

5)   Hubungan sosial yang sehat vs menarik diri.
Masalah hubungan sosial pada fase dewasa awal juga merupakan bias dari rasa kurang percaya diri pada anak ketika usia dini. Kiat-kiat yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri anak dalam membina hubungan sosial dengan teman-teman sebayanya adalah dengan sistem pendidikan di rumah, dimana telah kita ketahui bersama bahwa rumah merupakan sekolah pertama anak, sehingga apapun yang diajarkan oleh orang tua akan terus melekat di otak bawah sadarnya. Selain pembelajaran dirumah, agar anak dapat bersosialisasi dengan baik, ada baiknya bila orang tua mengikutkan anaknya dalam kelompok bermain atau pendidikan anak usia dini sehingga anak dapat berinteraksi dengan teman-teman sebayanya.

  • PENGARUH PERKEMBANGAN OTAK BAYI TERHADAP MASALAH PERKEMBANGAN PADA FASE DEWASA AKHIR.
Dewasa akhir merupakan periode akhir dalam rentang kehidupan manusia di dunia ini.  Kisaran usia yang ada pada periode ini adalah enam puluh tahun ke atas. Pada periode ini terjadi penurunan atau kemunduran yang disebabkan oleh faktor fisik dan psikologis.
Permasalahan psikologis yang harus dihadapi pada fase dewasa akhir ini lebih berkaitan dengan penyesuaian diri terhadap kematian teman hidup, serta kesiapan diri untuk menghadapi kematian.

1)   Penyesuaian diri terhadap kematian teman hidup.
Pada fase dewasa akhir, hal yang biasanya membebani pikiran manusia adalah rasa kesepian akibat kematian dari teman hidup atau pasangan hidup. Sehingga seringkali mereka cenderung memilih untuk menjauh dari keramaian dan menyendiri mengingat kenangan-kenangan yang dilalui bersama pasangan hidupnya. Kesiapan seorang untuk menyesuaikan diri terhadap kematian pasangan hidup, biasanya diperoleh dari pemahaman dan penanaman tentang nilai-nilai dari kehidupan yang diperoleh dari kedua orang tuanya ketika kecil. Jika orang tua telah menanamkan nilai-nilai kehidupan seperti nilai keagamaan kepada anaknya sedini mungkin, maka pada fase dewasa akhir, ia akan dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap kematian pasangan hidup karena dalam agama, kematian merupakan kodrat alam bagi makhluk hidup ciptaan Tuhan.

2)   Kesiapan diri untuk menghadapi kematian.
Erich Fromm (1955) mengatakan bahwa manusia merupakan satu-satunya hewan yang tahu bahwa mereka harus mati. Pengetahuan tentang kematian yang tidak dapat dielakkan memberi kesempatan pada kita untuk membangun prioritas dan struktur waktu secara tepat. Saat kita bertambah umur, prioritas dan struktur berubah, tertuju pada keterbatasan masa depan. Nilai-nilai yang memfokuskan pada pentingnya penggunaan waktu juga berubah. Sebagai contoh, ketika ditanya bagaimana mereka menghabiskan waktu 6 bulan tersisa dalam hidupnya, orang-orang pada fase dewasa awal akan menggambarkan aktivitas seperti bepergian dan menyelesaikan sesuatu yang belum terselesaikan, sedangkan orang-orang dewasa akhir akan menggambarkan aktivitas yang lebih terfokus pada dirinya sendiri, kontemplasi dan meditasi. Seperti penjelasan yang telah disebutkan sebelumnya tentang penyesuaian diri terhadap kematian teman hidup, kesiapan seseorang dalam penghadapi kematiannya sendiri pun juga dipengaruhi oleh pemahaman nilai-nilai keagamaan yang ditanamkan sejak usia dini. Semakin orang itu paham tentang agamanya, maka semakin siap ia menghadapi kematiannya karena menganggap itu adalah kodratnya sebagai makhluk ciptaan tuhan. Meskipun dalam beberapa hal, Kebanyakan peneliti percaya bahwa bayi tidak memiliki konsep dasar tentang kematian. Namun, karena bayi mengembangkan keterkaitan dengan pengasuhnya, mereka dapat mengalami perasaan kehilangan atau pemisahan serta kecemasan yang menyertainya. Tapi anak-anak tidak memahami waktu sebagaimana orang dewasa. Bahkan perpisahan yang singkat mungkin dialami sebagai pepisahan total. Bagi kebanyakan bayi, kedatangan pengasuh kembali akan memberikan suatu kontinuitas eksistensi dan hal ini akan mereduksi kecemasan. Kita sangat sedikit mengetahui pengalaman aktual bayi tentang kehilangan walaupun kehilangan orang tua, terutama jika pengasuh tidak digantikan, yang dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan bayi. Anak usia 3-5 tahun memiliki sedikit ide bahkan tidak sama sekali mengenai apa yang dimaksud dengan kematian. Mereka sering kali bingung antara mati dengan tidur, dan bertanya dengan keheranan, “Mengapa ini tidak bergerak?” Diusia prasekolah, anak-anak jarang kaget dengan pemandangan seekor binatang yang mati atau dari cerita bahwa seseorang telah mati. Mereka percaya bahwa orang yang mati dapat menjadi hidup kembali secara spontan karena adanya hal yang magis atau dengan memberi mereka makan atau perawatan medis. Anak-anak sering kali percaya bahwa hanya orang-orang yang ingin mati, atau mereka yang jahat atau yang kurang hati-hati, yang benar-benar mati. Mereka mungkin juga menyalahkan diri mereka dan mengungkapkan alasan yang tidak logis bahwa peristiwa itu mungkin terjadi karena tidak patuh terhadap orang yang mati. Kadang-kadang dimasa kanak-kanak tengah dan akhir, konsep yang tidak logis mengenai kematian yang lambat laun berkembang hingga diperoleh suatu persepsi kematian yang lebih realistis. Dalam satu penelitian awal mengenai persepsi kematian pada seorang anak, usia 3-5 tahun menolak adanya kematian. Anak usia 6-9 tahun percaya bahwa kematian itu ada, tetapi hanya dialami oleh beberapa orang. Dan anak usia 9 tahun keatas akhirnya mengenali kematian dan universalitasnya. Kebanyakan ahli psikologi percaya bahwa kejujuran merupakan strategi terbaik dalam mendiskusikan kematian dengan anak-anak. “Mempermalukan” konsep kematian sebagai hal yang tidak pantas disebutkan, merupakan strategi yang tidak sesuai, walaupun kebanyakan dari kita masih tumbuh dalam suatu masyarakat dimana kematian sangat jarang didiskusikan. Dalam suatu penelitian, peneliti berusaha menilai sikap 30.000 orang usia dewasa awal terhadap kematian. Hasilnya, lebih dari 30% berkata bahwa mereka tidak dapat mengingat kembali diskusi mengenai kematian selama mereka kanak-kanak; dengan jumlah yang sama, yang lain mengatakan bahwa, meskipun kematian disiskusikan, namun diskussinya berlangsung dalam suasana yang tidak nyaman. Hampir setiap 1 dari 2 responden berkata bahwa kematian kakek atau neneknya merupakan kematian pertama kali yang mereka hadapi. Namun, setidaknya dengan berkata jujur terhadap anak tentang konsep kematian ketika anak menghadapi kemtian kakek atau neneknya merupakan suatu upaya positif untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan yang universal kepada anak sehingga nantinya ketika ia dewasa, ia akan menerima kodratnya sebagai ciptaan Tuhan dan harus menghadapi kematian.

 
Sumber:
Monks, Knoers, Haditono  (2001). Psikologi Perkembangan. Yogjakarta: Gajah Mada University Press.
Santrock, John W (1995). Life Span Development. Jakarta: Erlangga.
Qalbinur. Periodesasi Perkembangan Masa Dewasa Awal. http//qalbinur.wordpress.