Bangunkan Aku Saat September Berakhir
B |
eginilah suasana menjelang senja di pinggir kota. Sekelompok remaja nongkrong di atas motor yang telah dimodif sambil ngobrol dan tertawa-tawa. Ada juga remaja yang duduk berdua-duaan, di atas sadel motor atau di trotoar. Anak-anak kecil berlarian sambil disuapi orang tuanya. Pengamen yang beristirahat setelah seharian bekerja. Dan gelandangan yang tidur di sisi pagar sebuah ruko.
Di salah satu sudut bangunan ruko itu, yang agak jauh dari kebisingan senja. Arya bersandar menghadap ke jalan. Hanya diam. Mengamati kendaraan atau orang-orang yang melintas. Menunggu Sang Surya kembali ke peraduannya. Yang ada dalam benak Arya saat ini hanyalah berusaha menghapus ingatanya akan peristiwa yang terjadi setahun lalu. Saat itu, bagi Arya semuanya telah dirampas secara keji oleh takdir. Semua angan dan cita-cita yang ia miliki telah terhempas oleh angin ketegangan yang berhembus dalam keluarganya. Di sela-sela lamunannya itu, tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya telah berdiri di hadapannya. Nama laki-laki itu adalah Andika atau lebih akrab disapa “Pae” diantara teman-teman sebayanya. Pae menghampiri Arya sambil menggotong 1 kerat minuman bersoda. Rencananya minuman itu mau dibawa ke bangunan tua tempat Pae dan teman-temannya yang lain biasa nongkrong. Jangan tanya untuk apa minuman sebanyak itu? Apakah mereka akan berpesta? Ah…yang benar saja, bagi orang-orang seperti Pae dan teman-temanya minum arak akan terasa lebih nikmat bila dicampur dengan minuman bersoda. Lain halnya dengan Arya yang baru sekitar 8 bulan mengenal Pae. Meskipun mereka dapat dibilang cukup akrab, namun sampai saat ini Arya masih belum terbiasa minum-minuman keras seperti yang biasa disuguhkan Pae padanya.
“Kamu lagi ngapain disini?” kata Pae sambil tersenyum memperlihatkan giginya yang kekuningan. Minuman keras dan asap rokok telah menindas warna putihnya.
“Ah, nggak lagi ngapa-ngapain kok. Minuman-minuman itu mau kamu bawa kemana ‘E’.” tanya Arya balik, seakan-akan dia tidak pernah tahu kelakuan temanya itu.
“Mau nyindir aku ya ‘Ar’ kalau kamu pengen ikut, dateng aja langsung ke markas. Ndak usah pura-pura gak tahu gitu, aku sama temen-temen yang lain kan mau pesta miras di markas. Gimana sih?” jawab Pae dengan nada sedikit menyindir.
Biasanya Arya tidak mau ikut pesta miras karena ia tidak terbiasa minum, tapi kali ini Arya menerima ajakan temannya itu. Mungkin pikirnya ia lebih baik mabuk dan melupakan hal yang berhubungan dengan keluarganya. “Toh, juga kejadian itu telah berlalu buat apa aku pikirin lagi.” gumam Arya dalam hati.
Malam itu Arya benar-benar telah mabuk berat. Yang ada dalam otaknya saat itu hanya minum-minum. Ketika pulang dari pesta miras Arya dan Pae melewati sebuah jalanan sepi. Saat itu dari kejauhan mereka mendengar suara dengungan yang begitu keras dan setitik cahaya yang menerobos kegelapan malam. Seketika kesunyian malam itu berubah menjadi ramai dan ricuh. Rupanya suara dengungan yang mereka dengar dan cahaya yang mereka lihat berasal dari kerumunan geng motor yang sedang adu balap atau istilah kerenya trek-trekan. Salah seorang yang beradu balap itu, sebut saja Rudy hampir menyerempet Arya. Terang saja, Arya dan Pae yang pada saat itu sedang dalam kondisi mabuk menjadi marah, lalu melemparkan botol minuman yang mereka bawa kearah Rudy dan tepat mengenai badanya. Rudy yang melaju dengan kecepatan tinggi, kehilangan keseimbangan dan terseret di aspal yang dingin. Kejadian itu mengundang kemarahan dari anggota geng motor yang lain. Para anggota geng motor tersebut langsung mengejar dan mengeroyok Arya dan Pae, sementara Rudy segera digotong oleh teman satu gengnya. Setelah anak-anak geng motor itu puas memukuli Arya dan Pae mereka langsung kabur, karena mendengar sirine mobil polisi yang sedang melakukan patroli dalam rangka “menghilangkan budaya trek-trekan di kalangan remaja”. Meskipun sebagian besar golongan masyarakat menganggap motto tersebut hanyalah kebohongan publik untuk menarik simpati rakyat, tetapi program itu tetap dilaksanakan dengan dalih kepentingan umum.
Anak-anak geng motor berhasil kabur, sementara polisi hanya menemukan 2 orang remaja yang tergeletak babak belur di pinggir jalan. Karena tidak memiliki kartu idenlitas polisi membawa kedua orang tersebut, yaitu Arya dan Pae ke “Rumah Sakit Polri” untuk mendapat pengobatan dan dimintai keterangan. Keesokan harinya Pae sudah sadar, namun ia sama sekali tidak dapat memberi keterangan seputar kejadian yang terjadi malam itu. “Saya sama sekali tidak ingat apa yang terjadi kemarin malam, yang saya ingat hanyalah ketika saya pergi keluar untuk minum-minum sama teman saya”, ungkap Pae dengan nada pasrah, karena memang malam itu dia dan Arya sedang mabuk berat. Kini Pae hanya bisa menunggu keputusan pihak berwajib tentang nasibnya, sudah terbukti bahwa ia berkeliaran di malam hari dalam kondisi mabuk.
Sementara Arya masih belum sadarkan diri, mungkin karena lukanya yang parah atau akibat dari dia terlalu banyak minum. Tetapi yang jelas, dalam tidurnya ia kembali melihat bayang-bayang keretakan dalam keluarganya yang telah menimbulkan trauma pada dirinya. Kejadian yang ia lihat terjadi pada pertengahan bulan September tahun lalu. Dimana saat itu Arya melihat ayah dan ibunya sedang bertengkar hebat. Dia mengintip pertengkaran kedua orang tuanya dari pintu kamar tidur, dan tanpa sengaja ia melihat ayahnya mengarahkan sebuah pistol bertipe “Taurus Colt 38” kepada ibunya. Lalu, tanpa ragu-ragu ayahnya yang merupakan anggota TNI AL itu, menembak ibunya. Ibu Arya langsung menghembuskan nafas terakhirnya ketika peluru dari pistol bertipe TC 38 itu bersarang di dada kirinya.
Melihat ibunya telah terbaring di lantai, Arya langsung berlari ke luar kamar menghampiri tubuh ibunya yang sudah tidak bernyawa. Sambil menelan rasa takutnya, Arya memberanikan diri untuk bertanya kepada Ayahnya yang saat itu masih berdiri di depan mayat ibunya. “Mengapa ayah tega melakukan semua ini?” tanya Arya dengan nada membentak sambil terus meneteskan air matanya. Ayah Arya hanya diam saja ketika memdengar pertanyaan anaknya, kelihatannya sang ayah masih terkejut sebab Arya ternyata telah mendengar dan melihat pertengkaran dirinya dengan sang istri. “Ma…maafkan ayah nak” kata ayahnya kepada Arya dengan nada merendah dan mulai meneteskan air mata. Kemudian, tiba-tiba sang ayah mengangkat kembali pistolnya. Awalnya Arya mengira sang ayah akan mengarahkan pistol tersebut pada putranya, ternyata sang ayah mengarahkan pistol itu ke kepalanya sendiri. Sambil memejamkan mata sang ayah menembak kepalanya sendiri dan meninggal di tempat kejadian.
Menyadari bahwa dia dengan mata kepalanya sendiri telah melihat kematian kedua orang tuanya, Arya tidak mampu menahan emosinya. Ia langsung berteriak sekeras-kerasnya sehingga teriakannya mampu memecah kesunyian yang ada di gang-gang sekitar rumahnya. Mendengar teriakan Arya warga sekitar langsung datang mengerumuni rumahnya. Melihat kejadian tragis itu warga berpendapat bahwa Arya merupakan anak pembawa sial dan mulai diasingkan di wilayahnya sendiri. Sungguh sulit dimengerti pola pikir warga tersebut, di tengah era globalisasi seperti ini masih ada-ada saja orang perkotaan yang percaya tahayul semacam itu. Semenjak itu, Arya hanya tinggal sendiri di rumahnya dan dia hanya bisa memendam trauma yang dialaminya. Sungguh malang memang, nasib Arya yang merupakan korban dari keluarga yang hancur.
Beberapa bulan setelah peristiwa itu Arya mulai kenal dengan Pae, pertemuan keduanya diawali ketika Arya sedang ditodong oleh preman di halte pinggir kota. Pae dan teman-temannya yang pada saat itu kebetulan lewat melihat penodongan itu dan menolong Arya. Pae dan teman-temanya memukuli preman tersebut hingga babak belur.
“Makasi ya, atas pertolongannya” kata Arya.
“Makasi untuk apa? Gue ngak bermaksud nolongin loe. Ini wilayah kekuasaan gue saman geng gue. Jadi, ngak ada preman yang boleh macam-macam disini tanpa izin dari gue. Ngerti loe!” kata Pae kepada Arya dengan nada membentak.
Memang awalnya mereka tidak saling akrab, tetapi sejak Arya memutuskan untuk bergabung dengan geng Pae, Arya perlahan-lahan menjadi bersahabat karib dengan Pae. Setelah beberapa bulan berteman dengan Pae, Arya pun tahu kalau Pae ternyata juga merupakan korban dari kelurga yang hancur, meskipun kisah dari keluarga Pae tidak setragis kisah keluarga Arya.
Di akhir bayangan-bayangan masa lalu yang dilihatnya Arya mendapati diri sedang berjalan di sebuah lorong yang gelap. Dia terpaku menatap cahaya pelangi di ujung lorong tersebut. Arya pun berlari menuju cahaya itu, lalu perlahan-lahan penglihatannya mualai buram dan ia pun tersadar di ruang UGD Rumah Sakit Polri. Di hadapannya terlihat seorang dokter dan seorang polisi yang sedang berjaga. Di samping tempatnya terbaring, ia melihat Pae yang sedang menungguinya. “Arya, syukurlah kamu sudah sadar. Aku sangat takut, jika akan kehilangan teman terbaikku. Sebab kata dokter kau sudah 4 hari tidak sadarkan diri dan berada dalam kondisi kritis” kata Pae dengan nada terharuh.
“…tanggal berapa sekarang, da….dan bulan apa ini?” tanya Arya dengan nada menghela-hela nafas. Saat itu dokter telah menyadari bahwa sebentar lagi Arya akan meninggal.
“Hari ini tanggal 2 bulan September” jawap Pae dengan nada merendah.
“S…Sep…Sebtember…kalau begitu…biarkan aku kembali tidur ‘E’. Dan…bangunkan aku saat September berakhir…” Setelah mengucapkan kata-kata itu dengan terbata-bata, Arya langsung menghembuskan nafas terakhirnya.
Setelah Arya dimakamkan, kata-kata terakhirnya masih berdengung di telinga Pae. “Bangunkan aku saat September berakhir” gumam Pae dalam hati. Saat itu dia sadar bahwa sahabat karibnya itu sangat membencih bulan September, sebab semua kejadian tragis yang terjadi dalam hidupnya terjadi pada bulan itu. Sepeninggal kawannya, Pae memutuskan untuk memulai hidup baru yang jauh lebih bermanfaat bagi dirinya dan orang di sekitarnya. Tampaknya cerita-cerita kehidupan yang saling ia bagi dengan Arya dulu, telah memberikannya inspirasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar