Psikologi Kultus
(Pancasila sebagai Bentuk Perlawanan terhadap Kultus
Terorisme yang Berkembang di Indonesia)
1.
Pengertian
Kultus
Kultus
(cults) yang oleh para ilmuan disebut
sebagai pergerakan religius baru mendapatkan banyak sorotan. Kultus merupakan
suatu bentuk dari persuasi yang ektrim, yaitu suatu pemujaan terhadap
kepribadian. Kultus muncul ketika seseorang menggunakan media massa,
propaganda, atau metode lain untuk menciptakan figur ideal atau pahlawan dan
seringkali ditemukan adanya pujian yang berlebihan pada seorang tokoh yang dikultuskan.
Di Indonesia kultus digunakan untuk perekrutan anggota terorisme yang mengatas
namakan agama. Padahal yang sebenarnya adalah kultus terorisme yang berkembang
di Indonesia merupakan suatu pergerakan keyakinan baru yang cenderung
menyimpang dari ajaran dan kaidah yang telah ada sebelumnya.
Kultus
destruktif merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut suatu metode yang
diterapkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk melakukan perekrutan
dengan penipuan dan kontrol pikiran dalam mengindoktrinisasi pengikutnya.
Sebagai contohnya adalah Osama bin Laden dan grup Al-Qaedanya merupakan grup
kultus destruktif yang menggunakan seluruh teknik kontrol pikiran klasik dalam
metode pelatihannya. Pelaku bom bunuh diri menjalani proses indoktrinasi yang
luas dan menyeluruh, dilaporkan mereka menjalani berjam-jam dalam peti mati
sambil membaca ayat-ayat suci di kuburan umum setempat. Para pelaku bom tersebut
diberitahukan bahwa mereka sudah mati dan akan dipuji di surga untuk perbuatan
kepahlawanannya. Seperti anggota kultus destruktif lainnya, para pengikutnya
diprogram untuk berpikir dalam terminologi sederhana hitam dan putih. Selain
itu mereka diajarkan untuk merendahkan setiap yang menjadi musuh mereka dan
mengutuknya.
Penggunaan
kultus destruktif seringkali dikaitkan dengan agama, namun yang sebenarnya
agama hanyalah ibaratkan jubah atau topeng yang dijadikan kedok oleh
organisasi-organisasi kultus untuk merekrut dan memperdaya pengikutnya. Metode
yang paling umum digunakan adalah menafsirkan dan memanipulasi ayat-ayat suci
sesuai kepentingan grupnya.
2.
Psikologi
Kultus
Psikologi
kultus yang dimaksud adalah berkaitan erat dengan psikologi sosial
kemasyarakatan. Psikologi kultus mengkaji tentang situasi-situasi manusia,
khususnya bagaimana manusia memandang dan mempengaruhi satu sama lain. Dalam
kultus destruktif, seringkali dijumpai adanya suatu “pergerakan sosial”, yaitu
perilaku dalam masyarakat juga memiliki pengaruh kuat terhadap sikap rasial di
dalam masyarakat tersebut. Terdapat suatu bahaya di balik kemungkinan
memberlakukan ide yang sama untuk penyosialisasian politik dalam skala besar.
Misalnya bila kita menengok kembali kepada pergerakan Nazi di Jerman. Bagi
banyak warga Jerman pada tahun 1930-an, partisipasi dalam gerakan Nazi,
memperlihatkan bendera Nazi, dan terutama sapaan umum “Hell Hitler” membangun
suatu ketidakkonsistenan yang jelas antara perilaku dan kepercayaan. Bagi
mereka yang memiliki keraguan teradap Hitler, “sapaan umum Jerman” itu
merupakan suatu alat pengondisian yang kuat. Setelah memilih melagukan sapaan
itu sebagai suatu cara untuk mencapai konformitas, banyak orang merasa tidak
nyaman karena adanya kontradiksi antara kata-kata dan apa yang mereka rasakan.
Untuk menghindari mengatakan apa yang mereka percayai, mereka berusaha untuk
membangun keseimbangan psikis mereka dengan secara sadar membuat diri mereka
percaya pada apa yang telah mereka katakan (Richard Grunberger, dalam Myers,
2012). Praktik itu tidak terbatas pada rezim totaliter. Kultus terorisme yang
mulai masuk dan berkembang di Indonesia pada saat ini juga memanfaatkan
konformitas publik untuk membangun suatu kepercayaan pribadi yang diatur oleh
organisasi dalam hal patriotisme.
Asumsi
bahwa indoktrinasi sosial yang paling kuat datang melalui “pencucian otak”,
suatu istilah yang pertama kali digunakan untuk menggambarkan apa yang terjadi
pada tahanan perang Amerika pada saat perang Korea tahun 1950. Perubahan sikap
dan kepribadian yang drastis dari para penganut kultus, menggambarkan hal yang
serupa. Namun, banyak orang yang beranggapan bahwa para pengikut kultus
mengalami perubahan sikap ke arah yang negatif, kenyataannya para penganut
kultus yang telah mendapatkan indoktrinisasi dalam waktu yang lama malah
memiliki kualitas hidup yang jauh lebih tinggi daripada orang-orang kebanyakan.
Sebagai contoh di tahun 1997 muncul aliran kultus yang disebut dengan “the Order of the Solar Temple” yang
melarang anggotanya untuk minum minuman beralkohol, dan mewajibkan mereka untuk
mengubah pola hidup mereka menjadi vegetarian, serta mengajarkan untuk
bersedekah kepada orang miskin. Dengan kualitas hidup yang tinggi seperti itu,
tak seorang pun yang akan menyangka bahwa lima orang anggota terakhir dari 74
anggota aliran kultus tersebut adalah pelaku bom bunuh diri di sebuah penginapan St.
Casimir, Kanada. Pada saat yang bersamaan, bom bunuh diri juga terjadi di Swiss
dan Perancis. Pelakunya masih sama, orang-orang yang ada kaitannya dengan “the Order of the Solar Temple”.
Mungkin
muncul pertanyaan di benak kita. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Persuasi
seperti apakah yang dapat membuat seseorang atau bahkan sekelompok orang
sedemikian patuhnya? Apakah kita dapat membuat penjelasan disposisional dengan
menyalahkan korban? Dapatkan kita mengabaikan mereka karena mereka mudah ditipu
dan dalam kondisi yang tidak seimbang? Tentu ada cara untuk mengatasi semuanya
itu. Dalam psikologi umum, seseorang biasanya meninternalisasi komitmen yang
dibuat secara sukarela di depan umum dan diulang-ulang. Nampaknya, para
pemimpin kultus mengetahui hal itu.
Seseorang
yang baru saja masuk dalam sebuah gerakan akan segera belajar bahwa
keanggotaannya bukanlah hal yang main-main. Mereka segera saja akan menjadi
anggota yang aktif. Ritual yang dilakukan, rekruitmen anggota, dan penggalangan
dana akan menguatkan identitasnya sebagai anggota. Hal tersebut sejalan dengan
penjelasan dalam percobaan psikologi sosial, seorang akan mempercayai apa yang
ia saksikan (Aronson & Mills dalam Myers, 2012), dengan demikian maka para
anggota baru kultus tadi akhirnya menjadi pendukung yang kuat bagi pemimpin
kultus tersebut.
Bagaimana
seseorang didorong untuk membuat komitmen pada hal-hal yang mengubah hidup
mereka secara drastis? Jarang sekali hal tersebut terjadi secara mendadak,
melainkan dilakukan dengan keputusan yang disadari sepenuhnya. Seseorang bukan
hanya memutuskan, “saya sudah pernah menjadi pemeluk agama yang besar. Sekarang
saya akan mencari kepercayaan pada sekte yang baru”. Disisi lain, pihak yang
berusaha mendapatkan pengikut juga tidak sembarangan untuk mengajak orang.
Strategi untuk mendapatkan anggota baru sering kali menggunakan prinsip “the foot in the door”. Pihak yang
mencari pengikut akan dengan sengaja mengundang calon anggotanya dalam sebuah
acara, misalnya jamuan makan malam, atau mengundangnya bergabung dalam kelompok
akhir pekan yang menyenangkan dan melibatkan calon anggotanya dalam diskusi
filosofi hidup. Ketika retret akhir
pekan mereka akan semakin melibatkan calon anggota dalam berbagai aktivitas
bersama. Calon anggota yang potensial akan diminta untuk mengikuti retret yang lebih panjang. Pola
perekrutan ini dimulai dari hal yang sederhana dan secara bertahap sampai pada
hal yang sulit. Pada puncaknya, calon anggota atau telah menjadi anggota akan
diminta untuk mengajak dan berusaha membuat orang lain mengikuti keyakinan
gerakan tersebut.
Sebuah
kultus yang sukses biasanya mempunyai pemimpin yang berkharisma, seseorang yang
menarik dan dapat mengarahkan anggotanya. Dalam sebuah eksperimen tentang
persuasi, seorang komunikator yang kredibel adalah seorang yang dianggap ahli
dan dapat dipercaya oleh pendengar, sebagai contoh Osama bin Laden. Osama bin
Laden memperoleh kepercayaan dari pengikutnya karena ia dianggap pahlawan oleh
banyak pemuda di Arab setelah perang antara Afganistan dan Uni Soviet berakhir.
Selain dikenal karena reputasi yang dimilikinya, Osama juga seorang yang ahli
dalam bidang manajemen, ia lulusan dari Universitas King Abdul Aziz di Jeddah.
Selain itu Osama juga piawai dalam menafsirkan ayat-ayat suci. Semua hal
tersebut merupakan daya tariknya dalam membangun suatu gerakan kultus. Dengan
reputasi dan keahliannya itu, dengan cepat ia memperoleh kontak serta koneksi,
bahkan kepercayaan dari orang-orang yang tergabung dalam kelompok Al-Qaeda yang
dibetuknya.
Kepercayaan
adalah aspek lain dari kredibilitas. Peneliti kultisme Margaret Singer mencatat
bahwa kaum pemuda dari golongan ekonomi menengah lebih mudah dipengaruhi dalam
rekrutmen karena mereka mudah percaya. Mereka tidak mempunyai “kecerdasan
jalanan” seperti kaum pemuda dari golongan ekonomi kelas bawah dan kewaspadaan
dari kaum pemuda golongan ekonomi kelas atas yang senantiasa diperingatkan
tentang penculikan sejak masih kecil. Kebanyakan anggota pergerakan kultus
direkrut oleh teman atau kerabat, serta orang yang mereka percayai (Singer
dalam Myers, 2012).
Selain
memanfaatkan aspek kepercayaan, pesan dalam suatu pengkultusan adalah salah
satu dari daya tarik yang digunakan gerakan kultus dalam rekrutmen anggotanya.
Sesuatu yang jelas, pesan yang emosional, kehangatan, dan penerimaan yang
diberikan oleh kelompok gerakan kultus pada orang yang kesepian dan tertekan
dapat menjadi terpikat. Perekrutan sering dilakukan pada pemuda di bawah usia
25 tahun, masih dalam tahapan usia yang terbuka sebelum menstabilkan sikap dan
nilai.
3.
Kultus
Terorisme di Indonesia
Kultus
terorisme yang berkembang di Indonesia merupakan bias dari adanya gerakan
Al-Qaeda yang dibentuk oleh Osama bin Laden di wilayah Timur Tengah. Pola
perekrutan yang dilakukan di Indonesia hampir sama seperti yang dilakukan oleh
Al-Qaeda. Semuanya dilakukan dengan memberikan doktrin-doktrin mulai dari yang
paling sederhana dan secara bertahap sampai pada yang paling sulit. Sasaran
perekrutan umumnya adalah pemuda-pemuda yang memiliki kecerdasan intelektual
yang bagus dan juga mereka yang jauh dari keluarga. Meskipun
pada awalnya, terorisme di Indonesia merupakan bias dari gerakan Al-Qaedanya
Osama bin Laden, namun terorisme di Indonesia telah mengalami pergeseran
ideologi yang melatar belakangi aksi-aksi terorisme di Indonesia. Pergeseran
ideologi terorisme di Indonesia telah terlihat sejak sasaran serangan awal pada
tahun 2000 yang terkait simbol barat, terutama Amerika Serikat.
4.
Pancasila
sebagai Perlawanan terhadap Kultus Terorisme
Terorisme
di Indonesia muncul sebagai gerakan yang meniru aliran atau pergerakan yang
radikal di luar negeri, khususnya negara-negara di wilayah Timur Tengah. Hal
itu salah satunya disebabkan oleh adanya pengaruh globalisasi yang tak
terbendung. Padahal terorisme bukanlah merupakan budaya Indonesia. Selama ini
Indonesia dikenal sampai ke mancanegara karena kearifan lokalnya serta sopan
santu yang dijunjung tinggi oleh penduduknya. Namun, sejak awal tahun 2000-an
gejala-gejala terorisme mulai menampakan diri.
Akibatnya,
bangsa Indonesia yang sejak dahulu dikenal sebagai negara yang cinta damai
dengan menggagas konferensi Asia-Afrika, juga dikenal sebagai pemersatu dunia
ketiga, dan aksi pengiriman duta-duta perdamaian serta pasukan penjaga
perdamaian ke negara-negara konflik kini terasa sia-sia, terlebih lagi ada
sapaan yang tak mengenakkan mampir di telinga bangsa Indonesia yaitu disebut
sebagai “negara sarang teroris”. Bahkan semenjak peristiwa “Bom Bali I”, banyak
negara yang mengeluarkan “travel warning”
bagi warganya yang hendak bepergian ke Indonesia.
Aksi
terorisme mulai muncul di Indonesia pada dekade dimana bangsa Indonesia mulai
melupakan pancasila. Pancasila tidak pernah lagi dipahami dan dihayati sebagai
cara-cara hidup.Padahal, para founding
father’s sejak awal mengatakan bahwa penyelamat, pemersatu, dan dasar NKRI
adalah pancasila. Bung Karno secara tegas berkata, “bila bangsa Indonesia
melupakan pancasila, tidak lagi menghayati dan mengamalkannya maka bangsa ini
akan hancur berkeping-keping”. Hal itulah yang sedang terjadi pada bangsa kita
sekarang ini. Pancasila hanya diucapkan di bibir saja, tidak pernah diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila diajarkan di sekolah-sekolah hanya
sebagai pengetahuan, bahkan hanya sebagai sejarah. Para pelajar hafal isi dan
urutan pancasila tapi tidak tahu arti dan peranannya dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Kenyataan
yang terlihat sekarang, pancasila telah diselengkan dari jalur keluhurannya.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang memberi kebebasan dan jaminan kepada setiap
bangsa Indonesia untuk memeluk agama dan keyakinannya telah terhalangi oleh
pemikiran-pemikiran yang salah dan hanya mengistimewakan agama tertentu saja.
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab diabaikan demi kepentingan pribadi dan
golongan sehingga mengesampingkan keberadaban bangsa Indonesia itu sendiri.
Sila Persatuan Indonesia kini telah luntur dan tertutup oleh ambisi kedaerahan.
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan telah ternodai oleh sistem politik praktis demi memperoleh dukungan
sebanyak-banyaknya dalam memperebutkan kekuasaan. Dan, yang terakhir Sila
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia hanya tinggal slogan saja akibat
adanya jurang pemisah yang begitu lebar antara “si miskin” dan “si kaya”
sehingga menimbulkan kecemburuan sosial.
Dalam
kondisi yang seperti itu, kultus terorisme akan mudah menyusup dan berkembang
di Indonesia. Jika pancasila yang selama ini menjadi filter dalam globalisasi
dunia yang tak terbatas, maka seharusnya kita sebagai bangsa Indonesia
mengembalikan diri kepada keluhuran nilai-nilai pancasila itu sendiri. Tentunya
peran pemerintah dalammenyegarkan kembali pancasila di Indonesia sangatlah
penting. Pemerintah dapat memulainya dengan sosialisasi secara intensif ke
daerah-daerah untuk menanamkan kembali nilai-nilai luhur pancasila terutama
kepada para generasi muda. Dalam kaitannya dengan kultus terorisme di
Indonesia, sosialisasi pancasila yang kuat akan membentuk faham yang kuat untuk
memerangi doktrin terorisme di Indonesia. Selain peranan pemerintah, semua
elemen bangsa Indonesia juga harus berperan aktif dalam penyegaran kembali
pancasila di “bumi seribu rupa”, Indonesia.
5.
Kesimpulan
dan Saran
Kultus
adalah suatu bentuk persuasi yang ekstrim dan umumnya disampaikan dengan proses
indoktrinisasi secara bertahap kepada calon anggota pergerakan kultus.
Terorisme merupakan salah satu bentuk dari kultus yang bersifat destruktif.
Pergerakan terorisme yang muncul selalu dikaitkan dengan kultus agama aliran
keras, namun hal itu hanya sebuah kedok untuk menutupi organisasi yang ada di
balik sebuah aliran kultus. Di Indonesia sendiri, kultus terorisme yang
berkembang merupakan bias dari aliran-aliran kultus yang berkembang di luar
negeri, khususnya di wilayah Timur Tengah. Dalam menghadapi kultus terorisme di
Indonesia, perlu adanya penyegaran kembali nilai-nilai pancasila yang merupakan
penyelamat, pemersatu, dan dasar NKRI. Penyegaran
kembali pancasila memerlukan peranan dari semua elemen bangsa Indonesia demi
terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa Indonesia seperti yang diharapkan
para pendiri bangsa.
Saran
yang dapat saya sampaikan adalah, kepada kita semua, bangsa Indonesia, sudah
saatnya kita menyadari bahwa kondisi bangsa yang kacau balau dan kultus
terorisme yang berkembang di Indonesia merupakan akibat dari kebodohan kita
yang telah melupakan nilai-nilai luhur dari pancasila. Jadi, sudah saatnya bagi
kita untuk kembali menjadikan pancasila sebagai cara-cara hidup dalam berbangsa
dan bernegara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar