“The Last Cigarette”
Putri memandang benda lintingan putih langsing di ujung jari-jari kanannya. Sudah dua tahun ia tak membakar dan menghisapnya dalam-dalam. Musik berdentum semakin keras. Iramanya tak terelakan, bagaikan magnet yang menariknya bergerak mengikuti hentakan lagu, seumpama remote control yang sengaja dipencet tombol-tombolnya oleh DJ sehingga ia otomatis bergoyang selaras bunyi.
Sahabat-sahabatnya, Ria, Maya, dan Indah masih sibuk di lantai dansa. Seharusnya Bram juga ikut malam ini. Berbagai rasa bak teraduk rata, tertumbuk halus di hati Putri hingga sulit diurai.
Putri masih memandang rokok itu. Keluaran baru. Futuristik. Bungkusnya saja mirip tempat lipstik. Hisap, jangan, hisap, jangan. Tak ada kancing yang dapat dihitung. Tapi kejadian tadi siang benar-benar membuatnya marah dan rasa panas itu masih memenuhi ubun-ubunnya hingga saat ini. Gambaran betapa paniknya Bram saat handphone-nya berdering saat mereka bersama di mobil dalam perjalanan pulang setelah makan siang, kembali terulang di benak Putri.
"Kok nggak dijawab, Bram?" tanya Putri setelah hampir tiga menit handphone Bram berdering terus.
"Nnngg... nggak...." Bram tampak bingung dan serba salah.
"Lho, kenapa?" Mata Putri mencari jawaban, "Memang, siapa sih yang telepon?"
"Nngg... bukan siapa-siapa...." Bram memalingkan wajah.
"Kalau bukan siapa-siapa kenapa nggak dijawab?" Putri memandang lurus ke depan. Perlahan rasa curiga merayapi hatinya. Tak lama kemudian SMS masuk bertubi-tubi. Bram membacanya dan bertambah gelisah.
"Ada apa sih, Bram?" Putri penasaran. "Dari Mamimu? Penting banget?" Tak ada jawaban, Putri meneruskan, "Kamu harus segera pulang? Kalau ya, aku naik taksi saja dari sini, nggak apa-apa kok."
Setelah menepikan mobilnya dan menarik nafas dalam-dalam, Bram menjelaskan bahwa yang menelepon itu adalah Rani, salah satu teman SMA mereka dan kini adalah juga kekasih Bram. Putri terentak antara sedih dan marah Tak sanggup pacaran jarak jauh menjadi alasan utama. Selama ini ia telah dibohongi.
***
Putri masih memainkan pemantik. Rokok sudah berpindah di tangan kiri. Matanya berkaca-kaca. Ia butuh pelampiasan, pelepasan, atau apapun itu. Namun keraguan mengais-ngais hatinya. Ia bisa berhenti merokok selama dua tahun, suatu rekor yang cukup lumayan dan membuat Maya, salah satu sahabatnya itu iri.
"Sudah... tidak apa. Sekali saja...." Bayangan Putri bertanduk merah dengan tongkat trisula membujuk di sebelah kiri.
"Jangan, Putri! Kalau mau pelampiasan, disko saja sampai capek." Bayangan Putri berjubah putih dengan lingkaran emas melayang di atas kepala, bicara lembut di sebelah kanan.
"Halaaaah hanya sebatang ini! It's OK-lah...." Si Putri bertanduk tersenyum licik, dan kemudian tertawa penuh kemenangan ketika Putri asli menyalakan api lantas menghisap dalam-dalam rokok langsing itu.
"Lho, ngerokok lagi?" Maya terbelalak agak prihatin begitu mendapati sahabatnya itu sudah mengepulkan asap.
"Wuiiih... welcome back my Friend!" seru Indah dengan cengiran khasnya.
"Enak toh rokok baru ini?" Ria langsung menyalakan sebatang dan Maya juga tak ketinggalan.
Begitulah, akhirnya mereka berempat, sahabat sejak SMA menghabiskan malam berdansa di tengah dunia gemerlap lampu sorot warna-warni dan musik techno hingga nyaris subuh, dengan perjanjian setelah hari itu Putri tidak boleh bersedih lagi karena Bram.
***
Putri membuka mata dengan kepala yang terasa berkonde di depan dan belakang hasil dari kurang tidur dan reaksi minuman beralkohol. Astaga! Sudah jam sembilan pagi. Ia harus segera berangkat jika tak ingin ketinggalan pesawat. Tidur bisa diteruskan di perjalanan. Ia pun bergegas mandi.
"Mi, Putri berangakat dulu ya?" Diciumnya Mami tercinta, tentu saja setelah ia mandi ala capung. Mami yang berjiwa muda dan sangat mengerti Putri, mengangguk dan menyenyuminya seperti biasa.
"Sudah minum aspirin?" Mami mengulurkan roti buat bekal jika Putri lapar di perjalanan.
"Sudah, Mi," Putri memeluk sekali lagi. "I'm gonna miss you, Mam," ujarnya, enggan rasanya melepas. Walaupun usianya sudah di akhir duapuluhan, Putri masih saja manja kepada Maminya.
"Jaga diri ya, Nak," Mami mengelus rambut Putri. "Kalau jatuh, bangun sendiri."
Putri tertawa. Ia segera masuk ke dalam taksi yang membawanya ke bandara.
Sampai jumpa lagi Mami, sampai jumpa lagi Malang, dan pergilah ke neraka, kau, Bram!
***
Tergopoh-gopoh Putri memasuki counter check-in dan mendapatkan pengumuman pesawatnya ditunda selama 'kemungkinan' dua jam.
"Huh, bete deh!" Putri menuju lounge sambil mengomel sendiri. "Kenapa sih pesawat di Indonesia jarang sekali yang tepat waktu?!"
Majalah yang dibelinya sudah habis terbaca. Kepastian keberangakatan belum ada juga. Menunggu hal yang tak pasti sangat menyebalkan. Rasa kantuk dan sakit kepala serta pedih di hati yang masih bercokol membuat Putri uring-uringan. Ia mencoba sebisa mungkin untuk tidak tertidur karena takut ketinggalan pesawat. Ah, tangannya menyentuh bungkus rokok semalam yang ternyata ada di dalam tasnya. Pastilah ia memasukkannya saat tidak sadar subuh tadi ketika tiba di rumah.
"Daripada ngantuk, sebatang tak apalah," Putri membatin guna meyakinkan dirinya sendiri sambil melangkah ke ruang khusus untuk merokok di ruang tunggu tersebut. "Mumpung masih di Malang."
***
Pesawat telah mendarat. Putri masih harus melanjutkan perjalanan dengan mobil travel untuk menuju kota tempat ia bekerja sebagai senior auditor internal sekaligus asisten kepercayaan alias tangan kanan Plant Manager sebuah perusahaan yang memproduksi dan mengekspor fashion plus perlengkapannya yang terbuat dari kulit. Kantor pusatnya ada di Jakarta, namun salah satu pabrik yang cukup besar ada di kota kecil ini. Kota kecil yang mulai terlihat perkembangannya. Kota kecil yang damai tenteram dan jauh dari ketergesa-gesaan sehingga menyuguhkan keteraturan hidup. Kota kecil yang masih menganggap tabu wanita merokok.
***
"Shit!" rutuk Putri dalam hati ketika data-datanya belum selesai sedangkan dead-line sudah di depan mata. "I need to smoke...."
Tapi tak mungkin merokok di area kantor dan pabrik. Selain berbahaya untuk mesin, para karyawan lainnya bisa pingsan melihat ia menyulut rokok. Tak ada jalan lain, ia harus pulang ke kost.
"Maaf Pak Dika, saya harus pulang sebentar, ada data yang perlu saya ambil dari komputer di tempat kost," Putri berdalih.
Anggukan setuju dari Pak Dika. Segera Putri meluncur dengan mobil ke rumah kost yang hanya berjarak tiga kilometer dari kantor. Ia bersyukur kota ini bebas macet.
Siang hari rumah kost yang ia tempati sepi, belum ada yang pulang. Perlahan ia membuka pintu gembok gerbang dan pintu depan. Semua penghuni rumah kost tersebut memiliki kunci akses masuk. Aman,. pikir Putri. Bik Man sedang tidur siang. Ia mengendap-endap masuk ke kamar mandi samping sebelah kamarnya. Rokok, pemantik, kertas sebagai asbak, pengharum ruangan semprot beraroma mint pun sudah siap. Tak ketinggalan sebuah majalah untuk menghalau asap keluar jendela.
Setelah mengelap kering tutup closet, Putri duduk dan menyulut rokoknya. Dihisapnya dalam-dalam. Aroma tembakau pekat bercampur menthol manis terasa di lidah dan udara hangat memasuki kerongkongannya. Setelah ditahan beberapa saat, ia menghembuskan asap putih keabuan melalui mulutnya. Disusul hembusan berikutnya, dan selanjutnya. Rasanya bak surga dunia.
Setelah habis satu batang, Putri sibuk mengipas-ngipaskan majalah, dan menyemprotkan pengaharum ruangan dalam kamar mandi itu. Puntung rokok bersama abunya terlipat rapi di kertas berlapis. Ia keluar dan masih menyemprotkan pengharum di luar area kamar mandi. Lalu ia memakai parfum di baju dan rambutnya. Sambil memasukkan lipatan kertas isi puntung ke dalam plastik, Putri menepuk dahinya.
"Ya, ampun!" bisiknya. "Sikat gigi dulu, dong! Gawat kan kalau bau rokok."
Maka bergegaslah ia menggosok gigi.
***
Suatu sore di hari ke tujuh Putri menjalani kehidupan ganda alias menjadi gadis perokok di siang hari, Bik Man menghampirinya sambil melirik kiri kanan seolah takut ada yang menguping.
"Non, Non, tahu nggak? Hiii...." Bik Man bergidik.
"Apaan sih, Bik? Hiii itu apa?" Putri bingung.
"Kayaknya rumah ini ada hantunya, deh...." Bik Man mencengkeram lengan Putri sambil terus mengedarkan pandangannya, seolah berharap sekaligus tidak berharap menangkap sosok si Hantu.
"Ah, Bibik jangan nakut-nakuti aku dong!" Putri balik memegang erat bahu Bik Man. "Bibik kok bisa bilang begitu?"
"Lha, iyalah, Non! Mosok akhir-akhir ini tiap siang sehabis Bibik bangun tidur, ada bau rokok di sekitar dekat kamar Si Non. Hiii...." Matanya menatap kamar mandi 'surga' Putri, sebelum berlanjut dengan kalimat sepolos bocah. "Kan di rumah ini nggak ada laki-lakinya. Ada juga Si Kaka," Bik Man menunjuk burung kakatua jantan milik Tante Rani, si empunya rumah.
"Ah, Bapak tukang bangunan sebelah rumah barangkali, Bik, yang ngerokok. Terus asapnya masuk ke rumah sini," Putri mengurai dusta, berusaha mewajarkan sikapnya dengan berusaha mengalihkan perhatian. "Oh ya Bik, boleh minta dibuatkan jus alpukat, ya? Sekarang."
Bik Man mengangguk, tak lagi melanjutkan 'tema' hantu yang merokok!
Putri bicara dalam hati," Wah, gawat nih kalau Bik Man ketakutan. Bisa-bisa bisa dia pensiun dini." Dahinya mengerut, berpikir keras, "Tapi kok... masih tercium ya bau asapnya?"
***
Malam itu Tante Rani datang mengunjungi para penyewa kamar di rumahnya, dan Putri memberanikan diri mengajukan usulan bahwa ia akan menambah exhaust fan di kamar mandi dari koceknya sendiri. Dan supaya tidak mencurigakan, ia juga menambah exhaust fan di dua kamar mandi lainnya.
Tante Rani senang bukan kepalang dan sangat memuji Putri atas perhatiannya. Teman kost lainnya pun gembira dan memandang Putri seolah ia adalah pahlawan yang baru saja pulang membawa kemenangan karena berkat Putri sirkulasi udara kamar mandi dan toilet akan lancar sehingga kenyamanan hidung dapat terjaga terutama bila pengguna kamar mandi sebelumnya baru saja menunaikan 'panggilan alam'.
Entah bagaimana mulainya, Tante Rani mulai bernostalgia tentang suaminya yang meninggal akibat kanker paru-paru yang disebabkan oleh rokok. Jadilah cerita berulang-ulang itu terdengar lagi. Para wanita muda di sekitarnya hanya dapat tersenyum kecut sambil memutar otak bagaimana cara menghilang terbaik dari ruangan tersebut.
"Ah, nggak mungkinlah aku akan terkena kanker paru-paru. Toh hanya satu batang per hari. Maksimal tiga," Putri berusaha menenangkan diri dalam hati.
***
Dua bulan berlalu. Sakit hati Putri belum sembuh. Bram belum hilang dari hati dan benaknya. Satu batang tiap siang kian bertambah menjadi tiga sampai empat batang tiap pagi, siang, sore dan malam serta di setiap kesempatan yang ada. Total sehari bisa hampir satu bungkus.
Sepertinya batangan-batangan itu lebih cepat habis terhisap dibandingkan dulu. Pekerjaan pun sering terbengkelai karena waktu yang tercuri dan terbuang untuk pulang pergi kost untuk merokok pada jam kantor. Otak Putri lebih sering digunakan untuk mencari alasan dan cara agar ia bisa menikmati batang-batang rokoknya. Hingga suatu siang, Putri dipanggil oleh Pak Dika.
"Putri, apa kamu ada masalah akhir-akhir ini?" Pak Dika memandang dengan serius namun prihatin.
"Tidak, Pak." Putri menggeleng sambil mengaktifkan tampang lugu gadis desa tanpa dosa, berusaha meyakinkan pimpinannya itu. Segaris rasa bersalah menoreh hati Putri. Pak Dika sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri. Baik, perhatian, sekaligus tegas dan sangat percaya padanya. Sempat tergelitik untuk menceritakan kebiasaan barunya itu, tapi urung dilakukannya.
"Terus terang, kinerjamu menurun akhir-akhir ini dan sangat mengganggu sekali." Pak Dika menarik nafas berat terngiang teguran dari Big Boss karena laporan audit yang tidak akurat. "Hampir seluruh laporanmu salah dan terlambat! Banyak keluhan, sulit sekali mencari kamu dan sudah berapa kali rapat penting kamu tidak hadir!" Pak Dika diam sejenak kemudian nadanya melembut. "Kalau ada masalah bilang saja. Siapa tahu Bapak bisa bantu mencarikan jalan keluarnya."
Putri tetap mematung. Kali ini ekspresi penuh sesal dan maaf yang terpampang di wajahnya.
Pak Dika menghela nafas lagi, "Ada baiknya kamu cuti dulu, Putri. Toh jumlah cutimu juga masih banyak. Bapak harap apa pun yang kamu hadapi sekarang, dapat segera terselesaikan. Biar nanti Ami yang meng-handle pekerjaanmu sementara."
"Bu-bukan skorsing kan, Pak?" Putri ketar-ketir.
"Bukan," Pak Dika menenangkan. "Bapak rasa kamu butuh refreshing sejenak. Siapkan form cutimu dan segera Bapak tandatangani."
***
"Hai, hai...." Putri menyapa para sahabatnya pada janji temu di cafe resto langganan mereka.
"Cuti atau skorsing cara halus?" Ria bertanya sambil lalu seraya memanggil pelayan agar mencatat pesanan mereka.
"Kamu kelihatan kuyu, kusam," Maya menelaah penampilan temannya. "Kenapa sih mesti ngerokok lagi? Padahal, aku sendiri kepingin banget bisa berhenti, lho?"
Putri mengangkat bahu. Tidak bisa dipungkiri, Maya benar. Mata dan wajahnya tidak sebening dulu. Nafas pun terasa lebih sesak, belum lagi tenggorokan yang sering gatal tiba-tiba.
Pelayan datang. Mereka memesan makanan kesukaan masing-masing. Putri kemudian menceritakan kebiasaan lamanya yang kembali dilakoni.
"You are addicted, My Friend," kata Indah, ketika caffe latte-nya datang lebih dulu.
"Semua kecanduan makin lama dosisnya makin besar. You name it... ciggarette, alcohol, drugs, gambling, sex..."
"Kecanduan bisa sembuh, kan ?" Putri mencoba mencari jalan keluar dengan argumentasi yang lemah. "Toh aku pernah stop."
"Iya, tapi terus balik lagi," tampik Ria sambil sembari menyomot kentang goreng dari piringnya yang baru saja diletakkan di atas meja. "Lagian, ngapain sih pakai ngumpet-ngumpet? Pakai menghabiskan bensin bolak-balik dari kantor ke kost, lalu memasang exhaust fan segala. Ya, sudah... enjoy saja lagi!" jelasnya. "Hm... atau mungkin karena kucing-kucingan itu barangkali, kamu merasa jadi semakin suspense dan menantang, tambah nggak bisa lepas. Seperti orang selingkuhlah kira-kira. Setiap saat yang dilalui bersama menjadi amat sangat berharga dan anything will be done to have that moment...."
"Ya, benar banget tuh, Tri," tambah Indah. "Cuek saja lagi. Just be yourself-lah. Jangan sok munafik," ujarnya enteng dengan mulut mengunyah makanan.
"Kalian bisa ngomong begitu karena di sini sudah umum melihat perempuan dengan rokok di tangan. Kalau kalian di kantor butuh refreshing tinggal pergi ke daerah tangga darurat dan merokok. Just like that," Putri menjentikan jari tengah dan ibu jarinya. "There, I really I’am against the environment, against the rules." Putri membela diri. "Lagian, aku kan mulai lagi karena sebel sama Bram."
"Please, deh...." Indah mulai bete. Ia paling tidak suka sahabatnya menjadi lemah karena patah hati. "Nggak ada hubungannya antara rokok dan Bram. Rokok ya rokok. Bram ya Bram. Masih bagus ketahuan dari sekarang dia bohongi kamu ketimbang setelah kalian menikah!"
"Tapi... for your information, Ladies, rokok itu sudah seperti teman baik, di bawah satu level dari kalianlah. Selalu ada saat aku sebal, hampa, bosan, sakit perut, senang, excited, dan banyak lainnya deh!" Putri tetap berusaha membela diri.
Maya menginjak Indah yang asyik dengan spaghetti-nya. "Iya, Neng. Tapi kalau sudah sampai mengganggu pekerjaan sih namanya bukan teman lagi!" sanggahnya. Piring kedua berisi kentang goreng mendarat di hadapannya. "Tell you a secret, ya? Kami ini senang banget waktu kamu berhenti merokok, dan kepingin banget bisa kayak kamu."
"Iya, bener !" Indah dengan mulut penuh melanjutkan. "Memang sih level niat berhentiku paling rendah dibanding mereka berdua... tapi at least ada niatlah...."
Putri tercenung. Mereka benar. Ini pertikaian antara ego melawan tawaran menjadi lebih baik dan lebih sehat. Pergulatan antara membuat keputusan serta komitmen versus keengganannya melepas kebiasaan. Bram? Kalau dipikir, ditimbang, dan dirasa lagi, Bram sebenarnya sudah 'ke laut'. Stop, jangan, stop, jangan. Putri tak berdaya. Tetap tak ada kancing yang dapat dihitung.
***
Putri memasuki ruangan sederhana bergaya minimalis itu. Ia telah membicarakan penyebab ia sering menghilang pada jam kantor kepada Pak Dika beberapa hari yang lalu. Pimpinannya itu memberikan alamat di salah satu kota besar dekat kota mereka bekerja. Tempat yang dapat Putri kunjungi setiap hari Sabtu sehingga tidak mengganggu jam kantor.
Putri menghela nafas.
"Iih... ngapain sih ke sini?" Bayangan Putri bertanduk merah dengan trisula ditangannya tampak cemberut di sebelah kiri.
"Teruskan Tri, jalanmu sudah benar!" Bayangan Putri berjubah putih dengan lingkaran emas melayang di atas kepala menyemangati di sebelah kanan. "Ayo, jangan ragu!" desaknya lagi bijak, lalu tersenyum penuh kemenangan saat Putri asli mengetuk pintu masuk.
"Selamat pagi, Putri," sapa dr. Purnomo, "Sudah siap menjalani sesi hypnoteraphy yang pertama?"
_____________________